Berkah Dalem Gusti

Selamat Datang di Blog ini bersama R. Slamet Widiantono,SS ------**------ TUHAN MEMBERKATI -----* KASIH ITU MEMBERIKAN DIRI BAGI SESAMA -----* JANGAN LUPA BAHAGIA -----* TERUS BERPIKIR POSITIF -----* SALAM DOA -----* slammy

Senin, 05 Februari 2024

SENI MENGKRITIK

Kisah Para Rasul 18:24-28

Ia mulai mengajar dengan berani di rumah ibadat. 
Tetapi setelah Priskila dan Akwila mendengarnya, 
mereka membawa dia ke rumah mereka dan dengan teliti menjelaskan kepadanya Jalan Allah. 
(Kisah Pr. Rasul 18:26)

Seorang pengkotbah pernah bercerita dan berbagi pengalamannya.
Ketika dipercaya berkhotbah dalam berbahasa Inggris, ia tertantang dan sekaligus bergumul. Suatu kali, seusai sebuah kesempatan, seorang mantan dekan fakultas sastra mendekatinya dan mengomentari beberapa pelafalan yang kurang tepat. Mendengarnya, ia merasa khotbahnya buruk sekali. Kemudian datang beberapa orang, sebagian penutur bahasa Inggris dan pernah bersekolah di luar negeri, menyemangatinya. Mereka menghargai usahanya, mengatakan khotbahnya dapat dipahami. Mereka bahkan bersedia menolong memperbaiki kemampuan bahasa Inggrisnya.

Apolos pemberita Injil yang fasih dan mahir dalam soal-soal Kitab Suci. Ia bersemangat mengajar banyak orang, termasuk di rumah ibadat. Namun, karena keterbatasan pengetahuan, ia hanya mengajarkan baptisan Yohanes. 

Ketika Priskila dan Akwila mendengarnya, mereka tidak mempermalukannya. Mereka membawanya ke rumah dan menjelaskan apa yang perlu Apolos tahu. Mereka tidak hanya menunjukkan masalahnya, tetapi juga memberikan solusi. 


Hasilnya, Apolos menjadi seorang yang sangat berguna bagi orang-orang percaya di Akhaya. Ia bahkan mempergunakan keterampilannya memberitakan Injil Kristus di depan umum.

Umumnya, kita lebih senang mengkritik daripada dikritik. 

Jika harus mengkritik, pakailah cara terbaik untuk membangun, bukan menjatuhkan. Dan saat dikritik, belajarlah menyimak isi kritik, bukan berfokus pada caranya, sehingga kita dapat belajar memperbaiki diri.

KRITIK DIMAKSUDKAN UNTUK MENGOREKSI DAN MEMPERBAIKI KEADAAN,
BUKAN UNTUK MENYOMBONGKAN KEHEBATAN PRIBADI

MEMBACA TANDA

Kejadian 24:22-33

Terpujilah TUHAN, Allah tuanku Abraham, 
yang tidak menarik kembali kasih-Nya dan setia-Nya dari tuanku itu; 
dan TUHAN telah menuntun aku di jalan ke rumah saudara-saudara tuanku ini! 
(Kejadian 24:27)

Dalam mencari kehendak Tuhan, sering kita meminta tanda dari-Nya. 

Masalahnya, tidaklah mudah bagi kita membaca tanda-tanda-Nya. Kita cenderung membaca tanda sesuai dengan keinginan kita sehingga mengakibatkan penafsiran yang keliru. 

Untuk menghindarinya, kita memerlukan hikmat Tuhan, seperti yang dilakukan oleh hamba Abraham dalam Kitab Kejadian ini.

Hamba Abraham memulai perjalanan dengan meminta petunjuk dan tanda dari Tuhan. Tanda yang diminta sangat detail sehingga tak akan mudah terjadi secara kebetulan dan melahirkan salah persepsi. 

Tanda yang ia minta juga menunjukkan hikmat dan iman bahwa Tuhan akan memberikan istri yang berbudi kepada anak tuannya. Ia menjumpai anak gadis yang melakukan persis seperti tanda yang ia minta dari Allah. 

Namun, ia tidak gegabah. Ia mengamat-amati, apakah yang terjadi sesuai doanya kepada Tuhan. Setelah melihat bahwa Ribka melakukan seperti tanda yang ia minta, hamba Abraham itu berkenalan dengannya sehingga kemudian tahu gadis itu ternyata memiliki hubungan keluarga dengan Abraham. Hamba ini pun yakinlah bahwa Tuhan menuntunnya.

Dalam pergumulan iman, kadang kita membutuhkan tanda dari Tuhan sebagai jawaban atau tuntunan. 

Namun, kita perlu memeriksa hati kita, jangan sampai kita meminta tanda untuk keuntungan diri dan bukan bagi terlaksananya maksud Tuhan. 

Meminta tanda juga membutuhkan hikmat untuk memastikan apakah tanda itu benar-benar dari Tuhan. Carilah konfirmasi melalui firman-Nya dan Roh Kudus.


TUHAN MENYATAKAN TANDA-TANDA BERDASARKAN KEHENDAK-NYA,
BUKAN DEMI MEMUASKAN KEINGINAN MANUSIA

WARISAN BURUK

Kejadian 37:1-11

Israel lebih mengasihi Yusuf dari semua anaknya yang lain, 
sebab Yusuf itulah anaknya yang lahir pada masa tuanya.
(Kejadian 37:3)

Ishak pada usia 60 tahun menikahi Ribka, yang saat itu berumur 40 tahun. Kemudian lahirlah Esau dan Yakub bagi keluarga ini. Sungguh disayangkan, mereka tidak mengasuh keduanya dengan baik. Ishak cenderung lebih menyayangi Esau; sebaliknya, Ribka menyayangi Yakub. Kedua orangtua ini mengungkapkan rasa sayang secara timpang kepada kedua anak mereka. Baik Ishak maupun Ribka tampaknya tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan warisan yang salah bagi anak-anak mereka.

Warisan buruk ini berlangsung pada generasi berikutnya. Sebagaimana perlakuan orangtuanya pada dirinya, begitulah Yakub (Israel) memperlakukan anak-anaknya. Ia lebih mengasihi Yusuf daripada anaknya yang lain. Salah satu alasannya, menurut catatan Alkitab, mirip dengan alasan Ishak, yaitu karena Yusuf lahir pada masa tua Yakub. Apa yang pernah ia lihat dan ia alami di rumah orangtuanya, itu pula yang Yakub lakukan di rumahnya sendiri. Warisan salah yang ia terima turut membentuknya menjadi orangtua yang pilih kasih.

Setiap anak memiliki keunikan yang berbeda-beda, namun hal ini bukanlah alasan bagi kita untuk bersikap pilih kasih. Cara kita mengungkapkan kasih kepada masing-masing anak bisa saja berlainan, namun kita tidak seharusnya membela salah satu anak lebih dari yang lain karena lebih menyayangi anak itu. Kita memperlakukan mereka seadil mungkin sehingga kita tidak memberikan warisan yang mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Belum terlambat untuk memulainya dari sekarang. Mari!

SALAH SATU WARISAN YANG PALING BERHARGA
ADALAH KASIH YANG ADIL TERHADAP ANAK-ANAK KITA

Pemimpin yang berkualitas

Filipi 2:19-24

Karena tidak ada seorang pun padaku, 
yang sehati dan sepikir dengan aku 
dan begitu bersungguh-sungguh memperhatikan kepentinganmu. 
(Filipi 2:20)

Sosok F.X. Hadi Rudyatmo mungkin tidak seterkenal Jokowi, Gubernur DKI Jakarta. Namun, mantan wakil Jokowi yang sekarang menjabat sebagai Walikota Surakarta ini dikenal peduli pada rakyatnya. Sejak masih menjadi wakil walikota, pria berkumis lebat ini menyumbangkan gajinya untuk kepentingan warganya. Sesekali, ia rela merogoh kocek pribadinya untuk kegiatan sosial tanpa mengharapkan imbalan. Rudy mewakili sosok pemimpin yang rela melayani.

Dalam Kitab Suci, kita mengenal Timotius sebagai sosok pemimpin berkualitas. Keunggulan karakternya diakui oleh Paulus, mentor sekaligus bapa rohaninya. Timotius sehati dan sepikir dengan Paulus dalam pekerjaan Tuhan.


Cucu Lois ini dikenal sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan umat Tuhan, bukannya sibuk memikirkan kepentingan sendiri. Ia mengabdikan hidupnya untuk memuliakan Tuhan, bukan mengejar ambisi pribadi. 

Kualitas Timotius sebagai pemimpin semakin lengkap oleh kesetiaannya yang teruji dalam pelayanan Injil (ay. 22). Tidaklah mengherankan jika Paulus berharap bisa segera mengirim Timotius kepada umat Tuhan di Filipi.

Seseorang yang mengutamakan kepentingan Kristus tidak akan menjadi egois pada waktu yang bersamaan. Orang yang memiliki kualitas karakter seperti Timotius, meskipun tidak menjabat sebagai pemimpin, hidupnya akan berdampak positif bagi lingkungan sekitarnya. Sebagaimana Kristus rela berkurban bagi umat manusia, biarlah kita juga dikenal sebagai orang yang mendahulukan kepentingan sesama.

KETIKA KITA MENGUTAMAKAN KEPENTINGAN SESAMA,
KITA MENYATAKAN KASIH KRISTUS KEPADA DUNIA

KEKUATAN CINTA

1 Korintus 13

Kasih itu… 
tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. 
(1 Korintus 13:5b)

Tom Riddle, salah satu tokoh jahat dalam serial Harry Potter, sebenarnya adalah pribadi yang rapuh.
Ia sangat jahat karena memendam kepahitan sejak masa kanak-kanak. 
Ia dendam pada sang ayah yang meninggalkannya sewaktu masih dalam kandungan ibunya. 
Didorong oleh dendam kesumat itu, ia mencari tahu keberadaan ayahnya dan, sewaktu menemukannya, tak segan membunuhnya. 


Ia tidak memiliki cinta untuk mengalahkan dendam dan kebencian yang terus membara di dalam hatinya. Kejahatan dan kekejian menyelubunginya sampai ia tewas dalam ambisinya untuk menguasai dunia.

Kita lebih mudah menyimpan dendam membara akibat perlakuan orang yang kita anggap tidak adil. 

Sebaliknya, kita sulit mengingat kebaikan yang pernah orang berikan bagi kita. Beribu kebaikan serasa tak berarti lagi gara-gara suatu pelanggaran yang terjadi. 

Satu kesalahan bisa menghancurkan segalanya, menjerat kita dalam kekejian.

Tetapi, jika kita memiliki kasih yang Tuhan karuniakan kepada orang percaya, kita bisa mengalahkan sakit hati dan kepahitan yang menghampiri kita. 

Sabda Tuhan ini mengatakan bahwa kasih itu tidak pemarah. Artinya, orang yang memiliki kasih tidak akan mudah naik darah. Kasih juga tidak menyimpan kesalahan orang lain. 

Kita berusaha menyelesaikan masalah secepat mungkin dan melupakan kesalahan orang lain. Bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kelemahlembutan dan pengampunan. Kalaupun orang itu belum menyadari kesalahannya dan meminta maaf, kita sudah lebih dulu mengampuninya.

TIDAK ADA ORANG YANG TERLALU MISKIN
SEHINGGA TIDAK MAMPU MEMBERIKAN CINTA

MENJAGA LIDAH

Yakobus 3:1-12

Siapa tidak bersalah dalam perkataannya, 
ia orang yang sempurna, 
yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.
(Yakobus 3:2)

Charles Spurgeon dan istrinya suatu saat menjual telur ayam peliharaan mereka. Mereka benar-benar menjualnya, tidak memberikan secara cuma-cuma, bahkan kepada saudara atau kerabat dekat. Beberapa orang menganggap mereka pelit. 

Suami-istri itu membiarkan saja berita itu beredar tanpa berusaha membela diri. Akhirnya, terkuaklah apa yang sebenarnya terjadi. 

Ternyata hasil penjualan telur itu digunakan Spurgeon dan istrinya untuk menyokong hidup dua janda lanjut usia. Mereka bersepakat untuk menolong tanpa diketahui orang lain.

Kita hidup di tengah dunia yang begitu mudah membicarakan masalah dan keburukan orang lain. Lihat saja tayangan televisi atau ambillah lembaran koran, kita akan mendapati banyak liputan gosip tak sedap. 

Tanpa sadar kita jadi mulai terbiasa dan ikut terseret dalam arus kebiasaan itu. Betapa sering kita menilai seseorang sebatas apa yang kita lihat dan kita ketahui. Alih-alih mencari fakta yang sebenarnya, mendoakan, dan menjaga nama baik orang itu, kita cenderung mempergunjingkannya.

Kitab Suci mengajarkan pentingnya mengendalikan lidah. 

Salah satu caranya dengan tidak menyebarluaskan atau membicarakan masalah seseorang pada orang lain yang tak perlu mengetahuinya. 

Jika saudara kita berbuat salah, kita diminta untuk menegurnya dengan kasih, bukan mempergunjingkannya. Nah, sebagai anak Allah, kita sepatutnya belajar menggunakan lidah untuk mengasihi, bukan untuk menyakiti satu sama lain.

LIDAH YANG TAK TERKENDALI MENDATANGKAN KEMATIAN.
LIDAH YANG TERKENDALI MEMBUAHKAN KEHIDUPAN.

ORANG NOMOR DUA

Kisah Para Rasul 11:19-30

Setelah itu, pergilah Barnabas ke Tarsus untuk mencari Saulus; 
dan setelah bertemu dengan dia, 
ia membawanya ke Antiokhia. 
(Kis11:25)

Tidak banyak orang siap menjadi nomor dua, apa lagi jika ia telah lama menjadi orang nomor satu. Realitas ini juga berlaku dalam dunia pelayanan. Barnabas termasuk salah satu orang yang memiliki kesiapan itu.

Orang-orang percaya, termasuk para rasul, meragukan pertobatan Saulus dan menolaknya karena takut. Barnabaslah yang bersedia menerimanya dan meyakinkan para rasul. Karena terancam, Saulus akhirnya kembali ke Tarsus, desa asalnya (Kis. 9:26-30). 

Beberapa tahun kemudian, orang-orang percaya tersebar karena penganiayaan. Namun, terjadi pula pertumbuhan di banyak tempat, salah satunya di Antiokhia. Jemaat Yerusalem mengutus Barnabas untuk mengunjungi mereka.

Menyaksikan jemaat Antiokhia, Barnabas bersukacita. Ia sadar mereka memerlukan pembimbing. Dan ia tahu, Saulus orang yang tepat untuk menjalankan tugas itu. Ia mencari Saulus dan mengajaknya melayani bersama di Antiokhia. Kemudian, Saulus (nantinya menjadi Paulus) semakin menonjol dan berpengaruh dalam pelayanan. Bahkan, mereka sering disebut “Paulus dan kawan-kawannya” saja. Peran Barnabas seolah tidak terlihat lagi, namun ia tetap melayani dengan setia.


Ketika orang yang kita bimbing menjadi lebih menonjol dalam pelayanan atau di bidang lain, bersediakah kita berbesar hati mendukungnya? Atau, kita tergoda untuk menyingkir karena sakit hati dan bahkan merongrongnya? 

Kita perlu meneladani Barnabas yang rela menjadi tak terlihat, asalkan pelayanan terus maju demi kemuliaan Allah.

DI ATAS PANGGUNG ATAU DI BALIK LAYAR,
HENDAKNYA KITA TETAP BERPERAN DENGAN EFEKTIF 
UNTUK MEMAJUKAN PELAYANAN BERSAMA