1Sam 1:20-22,24-28
“Seumur hidupnya Samuel diserahkan kepada Tuhan.”Bagaimana menyatakan syukur terdalam kita? Banyak orang mengira asalkan memberi persembahan yang lumayan banyak, katakanlah lebih dari sepuluh persen – bukankah persepuluhan itu kewajiban minimal (Untuk umat Kristen non Katolik)? – maka itu sudah sesuatu yang menunjukkan lebih dari sekadar kewajiban. Tentu Tuhan senang dengan persembahan demikian.
Seringkali kita salah mengerti konsep ucapan syukur dan makna persembahan. Kita mengucap syukur karena Allah telah berkarya dalam hidup kita dengan karya yang tidak bisa dibandingkan atau dibalas dengan cara apapun. Baik karya-Nya terbesar, yaitu keselamatan dalam Kristus, maupun berbagai kebaikan Tuhan yang kita alami dalam perjalanan iman kita, semua itu adalah anugerah. Maka ucapan syukur adalah pengakuan bahwa semua berasal dari Allah, dan tidak ada satu hal pun yang boleh kita klaim karena jasa atau kelayakan kita. Dengan sendirinya, persembahan kita berikan bukan karena kebaikan kita melainkan keluar dari hati yang tulus bersyukur atas kebaikan-Nya.
Itulah yang dilakukan Hana setelah Tuhan “mengingat” dirinya dan mengabulkan permintaannya. Ucapan syukur Hana tercermin dari nama putranya, Samuel. Samuel adalah pemberian Allah. Oleh karena itu sebagai persembahan syukur, Samuel dipersembahkan untuk melayani Tuhan sekehendak-Nya. Inilah persembahan yang berkenan kepada-Nya: “seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada Tuhan.”
Banyak keluarga melihat sikap Hana ini sebagai teladan untuk mempersembahkan anak sulung sebagai hamba Tuhan. Tentu tidak setiap anak sulung dari keluarga Kristen, Tuhan pilih dan panggil untuk menjadi hamba-Nya secara khusus. Jauh lebih penting bagi kita untuk melihat teladan Hana sebagai respons yang tepat terhadap anugerah. Berikan yang terbaik, yang Tuhan mau kita persembahkan sebagai ucapan syukur dan pengakuan, bahwa semua yang kita miliki berasal dari Tuhan semata.