Berkah Dalem Gusti

Selamat Datang di Blog ini bersama R. Slamet Widiantono,SS ------**------ TUHAN MEMBERKATI -----* KASIH ITU MEMBERIKAN DIRI BAGI SESAMA -----* JANGAN LUPA BAHAGIA -----* TERUS BERPIKIR POSITIF -----* SALAM DOA -----* slammy

Senin, 13 November 2023

MENS SANA IN CORPORE SANO

Matius 9:1-8

Teguhkanlah hatimu, hai anak-Ku, 
dosa-dosamu sudah diampuni... 
Bangunlah, angkat tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu! 
(Matius 9:2,6)

Judul renungan ini berarti "jiwa yang sehat ada di dalam tubuh yang sehat". 

Kesehatan jiwa mendukung kesehatan tubuh. Dunia kedokteran menunjukkan, banyak penyakit yang disebabkan oleh gangguan jiwa, seperti kecemasan, dendam, iri, putus asa. 

Di Palestina kuno pada zaman Yesus ada kepercayaan: orang yang sakit tidak akan sembuh jika dosanya belum diampuni. Tentu saja, tidak semua penyakit merupakan ganjaran dari dosa. Di sisi lain, semua manusia telah jatuh ke dalam dosa (Rom. 3:2).

Si lumpuh mungkin merasa terbelenggu dosa sehingga apatis dan putus asa, pasrah terhadap nasib. 

Syukurlah, teman-temannya peduli dan membawanya kepada Yesus. Dan Yesus Sang Mesias menyapanya, "Dosa-dosamu sudah diampuni. Bangun dan bawalah tilammu dan pulanglah ke rumahmu." 

Keyakinan bahwa dosanya diampuni menyebabkan si lumpuh itu segera bangun, lalu pulang. 

Para ahli Taurat menuduh Yesus menghujat Allah sebab hanya Allah yang dapat mengampuni dosa manusia. 

Tetapi, Yesus memberikan kepastian bahwa Dialah Anak Manusia, yaitu Allah Sang Putra yang mempunyai hak dan kuasa mengampuni dosa (ay. 6).

Dosa menyebabkan kita tidak lagi berpaut kepada Allah, dan kita hidup hanya dengan mengandalkan diri sendiri atau hal-hal lain. 

Akibatnya, jiwa kita menjadi sakit, dan tak jarang tubuh kita menjadi terganggu dan jatuh sakit pula. 

Kita dapat belajar mengembangkan persekutuan dengan teman-teman seiman yang rindu untuk menolong kita senantiasa dekat dengan Yesus; Dia pasti akan memedulikan kita.

DIA MAMPU MENYEMBUHKAN JIWAMU, 
DIA PEDULI PADAMU,
SEBAB DIALAH YESUS KRISTUS, 
GEMBALA JIWAMU

MENGANGKAT JALA KOSONG

Lukas 5:1-11

Simon menjawab, 
“Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan 
kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena perkataan-Mu itu,
aku akan menebarkan jala juga.” 
(Lukas 5:5)

Sebagian besar murid Yesus berprofesi sebagai penjala ikan. Karena daerah sekitar Galilea merupakan wilayah pantai, tak heran jika banyak penduduknya menjadi nelayan. 

Hari itu, sekumpulan nelayan, salah satunya bernama Simon, mengalami peristiwa yang luar biasa. Bayangan akan pundi-pundi yang kosong mungkin sempat melintas di benak mereka ketika mendapati bahwa hasil tangkapan ikan malam itu sangat buruk. 

Sepanjang malam mereka bekerja keras, tetapi mereka tidak berhasil mendapatkan seekor ikan pun.

Nasib mereka berbalik saat berjumpa dengan Yesus. 

Selesai berkhotbah, Yesus memerintahkan agar mereka menebarkan jala ke tempat yang dalam. 

Ada kemungkinan Simon menebarkan jala dengan sedikit keraguan. “Tahu apa Tukang Kayu ini tentang ikan?” 

Namun, Simon justru melakukan perintah Yesus dan keraguannya pun berubah menjadi rasa takjub. 

Jala mereka penuh dengan ikan! 

Saking banyaknya, ikan-ikan itu nyaris mengoyakkan jala dan menenggelamkan perahu mereka. 

Hari itu, Yesus memberi mereka pengalaman yang menakjubkan. Pengalaman yang tidak akan Simon lupakan seumur hidupnya.

Hari-hari ini mungkin kita sedang membayangkan hal-hal negatif akibat kondisi sulit yang kita hadapi atau kegagalan yang kita alami. 

Kita sudah berusaha sebaik mungkin, namun masih juga “mengangkat jala kosong”. 

Datanglah pada Tuhan Yesus, dengarkan firman-Nya, dan lakukan apa yang Dia perintahkan. Dia senantiasa menyertai Anda, tak bakal meninggalkan Anda seorang diri. 

Nantikanlah kejutan dari-Nya!

TIDAK ADA JALA KOSONG
JIKA YESUS ADA 
DALAM PERAHU KEHIDUPAN KITA

MEMPERJUANGKAN HARI AYAH

1 Petrus 1:13-25

Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa... 
maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini. 
(1 Petrus 1:17)

Pada 1909 Sonora Smart Dodd mendengar kotbah di gereja tentang Hari Ibu. Ia satu dari enam bersaudara yang dibesarkan oleh ayahnya seorang diri. Ibu mereka sudah meninggal. Ia pun meminta pendetanya untuk mengadakan peringatan Hari Ayah pada tahun berikutnya. Sonora lalu mempromosikan ide itu secara nasional, mendorong masyarakat menghargai jerih payah dan perjuangan para ayah. Namun, usulannya tidak langsung bergaung, dan baru pada 1972 pemerintah AS menetapkan Minggu ketiga bulan Juni sebagai Hari Ayah.

Ya, para bapak layak dihargai atas peran dan dampak mereka. Terlebih lagi Bapa Surgawi! Rasul Petrus menuliskan bahwa sebutan Bapa menggarisbawahi kedudukan kita sebagai anak-Nya. Kehormatan ini sekaligus mengandung tanggung jawab, mendorong kita untuk hidup dalam ketakutan. Bukan takut karena ngeri, melainkan karena hormat. Artinya, kita menjalani hidup dengan berhati-hati, tidak sembrono, tidak menyia-nyiakan hidup yang berharga ini dengan perbuatan sia-sia. Dia telah menebus hidup kita dengan harga yang teramat mahal (ay. 18-19). Sudah sepatutnya kita tidak mendukakan hati Bapa dan tidak memandang ringan pengurbanan Anak-Nya.

Kita juga perlu ingat, kita hanya menumpang di dunia ini. Dunia ini bukan rumah kita, hanya sementara kita tinggal di sini (ay. 24). Persekutuan abadi dengan Bapa, itulah “rumah” kita yang sesungguhnya. Dengan sikap ini, kita belajar menghargai pengurbanan Bapa melalui anak-Nya dan menyenangkan hati-Nya.

DIA MEMBERI KITA KEHORMATAN UNTUK MENJADI ANAK-NYA,
MARILAH KITA MENGHORMATI-NYA SEBAGAI BAPA

DARI YANG KECIL

Matius 25:14-30

Engkau telah setia dalam hal kecil, 
aku akan memberikan kepadamu... hal yang besar. 
(Matius 25:21)

Benyamin Franklin suatu kali pernah berkata, “Pukulan-pukulan kecil dapat menumbangkan pohon oak yang besar!” Memang mengherankan. Banyak hal yang penting dan besar di dunia ini berasal dari hal yang kecil. Tahukah Anda bahwa sarang laba-laba di sebuah kebun merupakan inspirasi pembuatan jembatan gantung? Suara ketel di atas kompor memberi inspirasi penciptaan mesin uap? Sebuah apel yang jatuh dari pohon memberi inspirasi penemuan hukum gravitasi!

Prinsip serupa juga berlaku dalam pelayanan Kristen. Pelayanan besar tidak akan pernah ada tanpa dimulai terlebih dahulu dari pelayanan yang kecil dan sederhana. Sering kali saat kita melihat seorang hamba Tuhan yang sudah terkenal, kita hanya melihat kesuksesan dan kemasyhurannya. Kita jarang mempertimbangkan bagaimana ia merintis pelayanannya dari awal dan mengembangkannya dengan tekun.

Saat melihat Yosua, misalnya, kita kadang hanya melihat kebesarannya ketika ia memimpin jutaan rakyat Israel masuk ke tanah perjanjian. Tetapi, pernahkah terlintas dalam benak Anda bahwa sebelum karier Yosua menanjak demikian luar biasa, ia terlebih dulu menjadi bujang atau pelayan Musa?

Ketika Tuhan memercayakan kepada Anda suatu pelayanan, jangan pernah menolaknya hanya gara-gara pelayanan itu tampak kecil atau remeh. Tuhan tidak melihat besar-kecilnya pelayanan kita, melainkan kesetiaan kita dalam menjalaninya. Kesetiaan kita dalam perkara kecil mempersiapkan kita untuk setia pula ketika Tuhan mempercayakan perkara yang lebih besar.

SEMUA HAL YANG BESAR SELALU DIAWALI HAL YANG PALING KECIL

TIDAK PERNAH SIA-SIA

Yohanes 4:31-38

Yang seorang menabur dan yang lain menuai. 
(Yohanes 4:37)

Seorang misionaris di Amerika Tengah menulis, “Pekerjaan di sini sangat berat. Aku harus naik perahu sepanjang hari dan pada malam hari aku tidur di atas tumpukan kulit di atas dek. Orang-orang di sini tidak tertarik pada Injil sekalipun aku sudah berusaha memenangkan mereka. Akibatnya aku sering ingin menghentikan usahaku. Meskipun demikian, didorong oleh teladan Rasul Paulus, aku tetap berlari tanpa ragu, menyadari bahwa Allah tidak menuntut keberhasilan, tetapi kesetiaanku.”

Dalam pewartaan kkabar sukacita, ketika orang belum dapat menerima kabar baik dan belum dapat percaya kepada Tuhan Yesus, bukan berarti upaya kita gagal dan sia-sia. Meskipun saat ini orang itu belum dapat menerimanya, kita tahu bahwa berita yang kita sampaikan itu merupakan “benih” yang hidup. 

Firman itu akan terus bekerja dalam diri orang itu sehingga suatu saat, oleh karya Roh Kudus, tidak mustahil ia bertobat. Mungkin dengan cara yang tidak kita pikirkan.

Firman Allah mengingatkan kita bahwa ada orang yang menabur dan ada orang lain yang menuai. Jika upaya pewartaan kita belum membuahkan hasil nyata, anggaplah bahwa kita sedang menabur. 

Kita dapat mengucap syukur dan berharap suatu saat nanti ada saudara seiman lain yang berhasil memenangkan orang itu. Dalam kedaulatan Tuhan, benih firman yang kita taburkan tidak akan terhilang sia-sia. Tuhan menghendaki kita setia dalam melakukan bagian kita: memberitakan firman-Nya. 

Ada pun iman dan pertobatan seseorang, itu adalah bagian-Nya.

TUGAS KITA YANG TERUTAMA ADALAH MENABURKAN BENIH FIRMAN;
TUHANLAH YANG BERTANGGUNG JAWAB UNTUK MENUMBUHKANNYA.

TIDAK NGAMBEK

2 Samuel 12:15-23

Tetapi sekarang ia sudah mati, mengapa aku harus berpuasa?
Dapatkah aku mengembalikannya lagi?
Aku yang akan pergi kepadanya, tetapi ia tidak akan kembali kepadaku.
(2 Samuel 12:23)

Ketika masih bersekolah di bangku SMP, ada seorang teman yang sempat tidak masuk sekolah sampai berminggu-minggu. Selidik punya selidik, kabarnya ia minta kepada ayahnya untuk dibelikan sepeda motor. Tapi permintaannya ini ditolak. Bukan karena si ayah tidak mampu membelikan, tapi karena si ayah merasa bahwa sepeda motor itu akan lebih banyak mendatangkan keburukan daripada manfaat bagi si anak. 

Si anak tidak bisa menerima keputusan ini dan menjadi marah. Kemarahannya ini ia ungkapkan dengan membolos tadi.

Suatu ketika Daud berdoa memohon kepada Tuhan supaya anaknya sembuh. Ia mengajukan permohonan dengan begitu bersungguh-sungguh sampai para pegawainya khawatir mengenai apa yang akan terjadi jika permohonannya tidak terkabul dan anak itu meninggal. 

Ketika anak itu akhirnya sungguh-sungguh meninggal, ternyata Daud justru bisa menerimanya dengan rela. Ia tidak menjadi kecewa kepada Tuhan, melainkan menerima bahwa Tuhan itu berdaulat penuh dan berharap bahwa kelak ia akan kembali bertemu dengan anaknya itu.

Kita bebas dan perlu berdoa dengan sungguh-sungguh untuk memohon sesuatu yang kita inginkan dari Tuhan seperti Daud. 

Tetapi, ketika doa tersebut sudah dijawab dan jawabannya adalah “tidak”, kita harus menerimanya dengan lapang dada. 

Kita perlu percaya bahwa Tuhan berdaulat dan bisa dipercaya sehingga penolakan-Nya pun merupakan jawaban terbaik bagi kita. Jangan sampai kita menjadi kecewa dan ngambek seperti teman saya tadi.

KALAU TUHAN TIDAK MENGABULKAN DOA KITA, 
TERIMALAH DALAM IMAN
BAHWA PENOLAKAN-NYA ITU ADALAH JAWABAN TERBAIK BAGI KITA

APA ARTI BERKOMITMEN

Daniel 1:1-21

Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja 
dan dengan anggur yang biasa diminum raja. 
(Daniel 1:8)

“Saya akan berkomitmen!” Mungkin kita telah mengucapkan kalimat ini berulang-ulang. Tetapi, apakah kita memahami makna kata tersebut? Jujur saja, bukankah kita kerap melanggar apa yang menjadi komitmen kita? Arti paling sederhana dari komitmen adalah janji. Kita berjanji untuk melakukan ini atau tidak melakukan itu dan memutuskan untuk bersikap begini atau begitu. Nah, apakah kita konsisten dengan komitmen kita?

Komitmen adalah perkataan yang menyatakan sebuah kesanggupan untuk berbuat sesuatu. Komitmen mengandung unsur kontinuitas. Artinya kita bersedia untuk melaksanakan janji kita tidak hanya pada saat ini, tetapi berkelanjutan dan secara terus menerus. Komitmen dibangun dengan sebuah kasih yang tulus dan tanpa kepura-puraan.

Demikianlah juga jika kita hendak berkomitmen kepada Tuhan. Memiliki komitmen kepada Tuhan berarti kita mempercayakan segala sesuatu kepada Tuhan dan mengandalkan anugerah-Nya.

Daniel merupakan salah satu contoh orang yang berkomitmen teguh. Dia mengerti perintah Allah untuk menjaga kekudusan dan memantapkan diri tidak memakan makanan dari Raja. Dia menjalankan totalitas hidup di tengah tantangan yang mungkin bisa membinasakan dirinya. Daniel akhirnya mendapatkan kasih karunia, penyertaan, dan berkat Tuhan sehingga ia mampu menjaga komitmen dan ketetapan hatinya untuk tidak menajiskan diri. Komitmennya tidak berubah sekalipun situasi di sekelilingnya terus berubah. Daniel dimampukan untuk tetap mengasihi Tuhan sekalipun tekanan hidup menghimpitnya. Luar biasa! Bagaimana dengan Anda dan saya?

KOMITMEN MELAHIRKAN KESUNGGUHAN DAN KETEGUHAN
DALAM MENGHADAPI SITUASI HIDUP YANG BERUBAH-UBAH

MERATAP DALAM IMAN

Ratapan 3:1-66

Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, 
tak habishabisnya rahmat-Nya, 
selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! 
(Ratapan 3:22-23)

Suatu hari seorang teman berkeluh kesah bahwa ia sedang meratap. Situasi yang ia hadapi saat itu memang berat; kita akan maklum jika orang yang mengalaminya bersedih. Masalahnya, ia merasa bersalah atas ratapannya itu. Ia beranggapan, kesedihan adalah tanda bahwa seseorang tidak sungguh-sungguh beriman. Baginya, iman akan kebaikan Allah membuat orang Kristen sama sekali tidak punya alasan lagi untuk bersedih, apalagi sampai meratap.

Pemahaman ini kurang sesuai dengan pengalaman para tokoh Alkitab, termasuk nabi Yeremia yang menulis kitab Ratapan ini. Kitab ini berisi ratapan sang nabi ketika melihat nasib bangsanya yang porak-poranda. Reaksi seperti itu tentu wajar dan sudah selayaknya ditunjukkan oleh orang Israel yang mencintai bangsanya. Dan, ratapan tersebut bukan menandakan bahwa Yeremia kehilangan iman. Sebaliknya, justru di dalam ratapan itulah terkandung iman yang amat besar akan kebaikan Allah. Meskipun meratapi keadaan sekelilingnya yang tampak begitu suram, ia menyadari bahwa kasih setia Tuhan tidak pernah berkurang sedikit pun. Keyakinan ini memampukannya untuk meratap tanpa kehilangan pengharapan.

Kita dapat meneladani sikap ini. Beriman bukan berarti senantiasa tampak tegar. Jika suatu situasi memang layak ditangisi, janganlah ragu untuk meratap dan berseru kepada Tuhan. Ya, kita bukan meratap dalam keputusasaan, melainkan meratap dengan penuh iman, dengan menantikan pertolongan Tuhan untuk menghadapi situasi yang berat tersebut.

ORANG BERIMAN BUKANLAH ORANG YANG TIDAK PERNAH MERATAP,
MELAINKAN ORANG YANG MERATAP DALAM IMAN