Berkah Dalem Gusti

Selamat Datang di Blog ini bersama R. Slamet Widiantono,SS ------**------ TUHAN MEMBERKATI -----* KASIH ITU MEMBERIKAN DIRI BAGI SESAMA -----* JANGAN LUPA BAHAGIA -----* TERUS BERPIKIR POSITIF -----* SALAM DOA -----* slammy

Minggu, 26 Juni 2022

KEPEKAAN AKAN DOSA

Efesus 4:17-32

Perasaan mereka telah tumpul, 
sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan 
dengan serakah mengerjakan segala macam perbuatan cemar. 
(Efesus 4:19)

Gabby Gingras dilahirkan dengan kelainan syaraf yang langka, yaitu Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis (CIPA). Semua saraf pendeteksi rasa sakit di tubuhnya tidak berfungsi sama sekali. Ia pernah menggigit benda keras sampai giginya copot tanpa meringis. Bahkan, sewaktu masih bayi, ia mencolok mata kiri dengan jarinya sampai buta, juga tanpa merasa kesakitan. 
Ketidakmampuannya mengalami rasa sakit jelas-jelas mengancam keselamatan nyawanya.

Paulus menggambarkan kondisi orang yang tidak mengenal Allah. Perasaan mereka tumpul, tidak memahami betapa seriusnya dosa dan betapa menyakitkannya konsekuensi dosa. Tanpa kepekaan terhadap dosa, seseorang akan senang melakukan dosa (ay. 19). 

Langkah demi langkah ia terus menjauhkan diri dari Allah. Jika tidak berbalik, perjalanannya berujung pada maut. Paulus memperingatkan orang percaya, yang telah dipanggil ke dalam kehidupan yang baru, agar tidak menempuh jalan kegelapan ini.

Hari ini adalah permulaan masa persiapan Paskah. Selama masa ini, umat Tuhan diajak mempertajam kepekaan akan dosa. 

Bagaimana caranya? 
  1. Pertama, akrabilah firman (ay. 21). Pemazmur berkata bahwa kita menjaga kekudusan dengan firman (Mazmur 119:9). 
  2. Kedua, tanggalkan dan tinggalkan kebiasaan dosa (ay. 22). Melakukan dosa akan menumpulkan nurani kita. 
  3. Ketiga, kepekaan terhadap dosa dimulai dari pikiran yang membenci dosa (ay. 23). Mintalah kepada Tuhan untuk menanamkan kebencian yang kudus atas dosa dalam pikiran kita.

KEPEKAAN DAN KEBENCIAN AKAN DOSA 
MERUPAKAN CIRI KEROHANIAN YANG SEHAT

KEBENARAN dan PENGHARGAAN

Lukas 4:16-30

Kemudian berkatalah Ia kepada mereka, “Tentu kamu akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar yang telah terjadi di Kapernaum!” (Lukas 4:23)

Mendapat penghargaan memang menyenangkan dan bisa menjadi salah satu pendorong semangat bagi kita untuk berkarya. Namun, penghargaan tak boleh membuat kita mengabaikan kebenaran.

Yesus pun tidak mengabaikan kebenaran hanya demi penghargaan banyak orang. 

Ketika Dia mulai mengajar (ay. 21), banyak orang memberikan penghargaan (ay. 22). Tetapi, penghargaan itu serta-merta berubah ketika ada yang berkata, “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” Di balik pernyataan itu, mereka menghina dan tak lagi menghargai apalagi memercayai kuasa Yesus. Yesus lalu menyingkapkan kebenaran yang terpendam dalam pikiran mereka, “Hai tabib, sembuhkanlah diriMu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar yang telah terjadi di Kapernaum!" (ay. 23). 

Yesus tak melakukan seperti yang mereka kehendaki, malah menyamakan mereka dengan orang-orang pada zaman Elia dan Elisa yang tak mendapat berkat (ay. 24 - 27). Mereka jadi marah, dan hendak melemparkan Yesus dari tebing. 

Cermati reaksi Yesus: Dia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka lalu pergi (ay. 30). Dia tak tersentuh oleh kemarahan orang-orang yang menolak kebenaran itu.

Yesus datang untuk menggenapi firman dan memberitakan kebenaran. Dia tidak tergantung pada penghargaan, juga bukan bertindak demi menyenangkan kemauan orang. 

Kita pun dipanggil untuk setia menyatakan kebenaran di mana pun dan apa pun pekerjaan kita. Andaikan kita harus pergi karena orang tak senang, kita pergi dengan kebenaran.

ENTAH DIHARGAI ATAU TIDAK DIHARGAI,
KEBENARAN ADALAH KEBENARAN

SMS yang terbatas

Mazmur 90

Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, 
hingga kami beroleh hati yang bijaksana. 
(Mazmur 90:12)

Provider telepon seluler saya memiliki program SMS tak terbatas. Saya dapat menggirim SMS kapan pun berkali-kali tanpa cemas kehabisan pulsa. Namun, beberapa bulan kemudian, provider itu menggantinya dengan program baru. 

Jumlah SMS gratis per hari dibatasi. Hasilnya, saya tidak dapat lagi mengirim SMS secara asal-asalan. Saya perlu “lebih bijaksana” dalam melakukannya. Setiap kali mau mengirim SMS, saya menimbang-nimbang apakah pesan itu memang penting untuk disampaikan.

Lalu, bagaimana kita memandang masa hidup, yang sama-sama terbatas, namun jauh lebih penting dari SMS? 

Alkitab menulis bahwa umur manusia itu singkat, antara 60 hingga 70 tahun saja, kalaupun kuat 80 tahun. Tidak sedikit orang yang bahkan tidak mencapai usia sepanjang itu. 

Kita memiliki pilihan untuk mengisi kehidupan: menggunakannya dengan bijaksana atau menyia-nyiakannya. Jika kita menyadari hidup ini singkat, kita perlu menghargai waktu yang kita lewati. 

Banyak orang mengisi kehidupan dengan kesia-siaan dan secara sembrono. Tidak memiliki waktu untuk keluarga, mengembangkan diri, dan beribadah.

Kiranya kita sungguh-sungguh menyadari keterbatasan masa hidup ini sehingga kesadaran itu memengaruhi cara pandang kita terhadap hari-hari yang kita lewati. 
  • Aktivitas apa saja yang akan kita lakukan? 
  • Apakah aktivitas yang berguna? 
  • Atau kita melewati hari begitu saja tanpa melakukan hal yang bermakna? 
  • Apa yang kita lakukan menjadi berkat bagi orang lain? 
  • Menginspirasi? 
  • Membuat diri kita bertumbuh?
KESADARAN AKAN KETERBATASAN MASA HIDUP
MENGGUGAH KITA UNTUK BIJAK 
DALAM MENJALANI HIDUP

HIDUPKU NO MONOPOLI

Efesus 5:15–21

Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, 
bagaimana kamu hidup, 
janganlah seperti orang bebal, 
tetapi seperti orang arif. 
(Efesus 5:15)

Seandainya hidup itu sebuah permainan monopoli tentu enak. Dalam waktu singkat, kita dapat memiliki banyak uang, tanah, rumah, dan hotel. 

Nyatanya, hidup tidak bisa seperti itu. Hidup berjalan bukan tergantung pada angka dadu yang muncul. Hidup itu harus direncanakan, dijalani dengan hati-hati, dan dievaluasi dengan tekun.

Alkitab memandang masa hidup sebagai pemberian Tuhan, yang kita terima karena anugerah-Nya. 

Dalam Efesus 5:15-16, Paulus menegaskan, sebagai anak-anak terang (ay. 1-14) semestinya kita tidak menjalani hidup dengan sembrono seperti orang yang tidak bijaksana, melainkan hidup dengan benar dan baik secara konsisten. 

Untuk itu, kita perlu mengevaluasi penggunaan masa hidup yang kita lalui. 

Socrates, seorang filsuf Yunani, berkata, ”Hidup yang tidak pernah dievaluasi adalah hidup yang tidak layak dihidupi.” 

Masalahnya, di dunia yang penuh kesibukan ini, kita kerap merasa tidak punya kesempatan untuk rehat sebentar dan mulai memikirkan dengan sungguh-sungguh: 
  • “Apakah yang menjadi prioritas saya?”; 
  • “Apakah tujuan Tuhan mengaruniakan hidup ini kepada saya?”; 
  • “Sudahkah yang saya kerjakan menyenangkan hati-Nya?”
Sebagai anak terang, kita bukan semata-mata berusaha meraih pencapaian yang dianggap membanggakan, namun rindu untuk semakin mengenal Tuhan dalam setiap bagian dari hidup kita. 

Kita rindu agar hidup yang sedang kita jalani ini bukan kesia-siaan untuk pemuasan nafsu duniawi, melainkan merupakan pelayanan yang memuliakan Tuhan.

MENYIA-NYIAKAN WAKTU 
BERARTI MENDUKAKAN 
SANG PEMBERI WAKTU

SUARA RAKYAT

1 Samuel 8:1-22

Tetapi bangsa itu menolak mendengarkan perkataan Samuel dan 
mereka berkata: “Tidak, harus ada raja atas kami; 
maka kami pun akan sama seperti segala bangsa-bangsa lain; 
raja kami akan menghakimi kami dan memimpin kami dalam perang.” 
(1 Samuel 8:19-20)

Vox populi vox Dei. Frasa bahasa Latin ini berarti “suara rakyat adalah suara Tuhan”. 

Sebagian orang memaknainya sebagai kehendak Tuhan itu tercermin dalam kehendak rakyat. Tetapi, sebagian lagi berargumen frasa ini dicetuskan justru untuk membantah pemahaman tersebut. 

Suara rakyat cenderung mudah dipengaruhi oleh emosi dan histeria massa sehingga menjadi tidak rasional dan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. 

Hal inilah yang terjadi ketika bangsa Israel meminta raja.

Sejak awalnya bangsa Israel adalah bangsa yang unik. Mereka tidak memiliki raja, melainkan dipimpin langsung oleh Tuhan. 

Selama itu pula, asalkan mereka taat, mereka aman dan sejahtera. 

Suatu hari mereka ingin menjadi sama dengan bangsa lain. Mereka meminta seorang raja. Samuel berusaha mengajak mereka berpikir ulang. Tetapi, karena histeria massa yang terjadi, mereka tidak lagi bisa berpikir jernih sehingga mengambil keputusan yang tidak bijaksana.

Ketika bangsa Indonesia ini melaksanakan pemilihan umum. Berbagai cara akan dipakai untuk membujuk masyarakat memilih seorang calon, termasuk dengan memanipulasi emosi masyarakat. 

Hendaklah kita tidak ikut terjebak dan memilih berdasarkan emosi, melainkan meneliti calon yang ada dengan saksama dan memastikan bahwa kita memilih orang yang tepat. 

Kita juga dapat mengajak orang-orang di sekitar kita berbuat demikian. Kiranya pemimpin yang terpilih nanti memang orang yang tepat, dan suara rakyat sungguh-sungguh cerminan kehendak Tuhan.

MEMILIH SECARA BIJAKSANA 
BERARTI MEMILIH DENGAN PERTIMBANGAN YANG MATANG,
BUKAN HANYA MENURUTI GEJOLAK EMOSI

CAPEK HATIKAH KAMU?

Yunus 2:1-10

Ketika jiwaku letih lesu di dalam aku, 
teringatlah aku kepada TUHAN, dan 
sampailah doaku kepada-Mu, 
ke dalam bait-Mu yang kudus. 
(Yunus 2:7)

“Aduh, Pak, sudah capek hati saya mengurusnya.” 

Beberapa kali saya mendengar para ibu mengeluh seperti itu. Ternyata dalam melakukan sesuatu, kita tidak hanya mengeluarkan energi jasmani yang mendatangkan kelelahan secara fisik, tetapi juga menguras energi jiwa yang membuat kita jadi “capek hati”.

Bisa jadi perasaan semacam itu yang dialami Yunus ketika berada di perut ikan. 

Ia menggambarkan dirinya di lemparkan ke dalam pusat lautan dan terangkum arus air (ay. 3), seperti tenggelam ke dasar bumi yang pintunya tertutup rapat (ay. 6). Kepalanya seperti dililit lumut laut (ay. 5), perumpamaan tentang pikiran yang kalut. 

Seperti orang yang hatinya sudah capek, Yunus tercekam oleh keputusasaan. Ia sampai merasa dirinya telah terusir dari hadapan mata Tuhan (ay. 4).

Mungkin kita pernah mengalami hal yang sama. 

Kita mengalami kesesakan dan Tuhan seakan tidak peduli. Sesungguhnya Tuhan tidak pernah melupakan dan meninggalkan kita, namun kita kerap lalai dan tidak peka akan penyertaan-Nya tersebut.

Dari kisah Yunus, kita dapat memetik pelajaran. Ia tidak berhenti berharap untuk bisa kembali menyaksikan bait Tuhan, lambang hadirat-Nya (ay. 4). 

Ia berseru kepada Tuhan (ay. 2), bukan berpaling kepada berhala kesia-siaan karena ia yakin akan kasih setia Tuhan (ay. 8). Tuhan mengabulkan doa Yunus dan melepaskannya dari kesesakan (ay. 10). 

Saat hati terasa capek, kepada siapa lagi kita akan berpaling kalau bukan kepada Tuhan, sumber kelegaan dan pemulihan?