Berkah Dalem Gusti

Selamat Datang di Blog ini bersama R. Slamet Widiantono,SS ------**------ TUHAN MEMBERKATI -----* KASIH ITU MEMBERIKAN DIRI BAGI SESAMA -----* JANGAN LUPA BAHAGIA -----* TERUS BERPIKIR POSITIF -----* SALAM DOA -----* slammy

Kamis, 04 Mei 2023

MERASA AMAN

Amsal 28:1-10

Orang fasik lari, walaupun tidak ada yang mengejarnya, 
tetapi orang benar merasa aman seperti singa muda 
(Amsal 28:1)

Pernahkah Anda berusaha tak terlihat ketika kendaraan polisi lewat, padahal ia tidak sedang mengejar Anda? Pernahkah kita berusaha membela diri dalam percakapan, padahal sebenarnya tidak ada orang yang mengkritik perkataan kita? 
Kalau pernah, kita takkan menemui kesulitan saat membaca ayat 1: “orang fasik lari, walaupun tidak ada yang mengejarnya”.

Ada sesuatu yang membuat orang fasik lari. Jelas bukan karena mereka orang-orang penakut. Pada kenyataannya, orang fasik dalam kebodohannya bisa melakukan tindakan-tindakan yang berisiko tinggi, misalnya: menerobos lampu merah, memakai obat terlarang, korupsi, dan sebagainya. 

Namun, seperti Adam yang bersembunyi ketika mendengar langkah Tuhan (Kejadian 3:8), ada nurani yang Tuhan berikan untuk memberi tahu bahwa ia “tidak aman” di hadapan Tuhan (bandingkan Roma 1:18). 

Sebaliknya, “orang benar merasa aman seperti singa muda”. Siapa mereka? 

KITAB SUCI tidak memaksudkan mereka yang mengandalkan kebenarannya sendiri, tetapi orang-orang yang dibenarkan oleh Tuhan (Mazmur 32:1-2), yang hatinya telah dibersihkan dari nurani yang jahat sehingga beroleh keberanian menghadap Tuhan, hati mereka tidak lagi menuduh mereka (1 Yohanes 3:21).

Jika kita telah dibenarkan Tuhan, kita akan hidup menundukkan diri pada Sabda-Nya. Aturan manusia yang sesuai dengan Sabda Tuhan kita penuhi bukan karena dikejar rasa bersalah. Aturan manusia yang tidak sesuai dengan Sabda Tuhan kita tentang dengan berani dan berhikmat. 

Kebenaran Tuhan itulah modal kita untuk “merasa aman” di hadapan Tuhan dan manusia.

RASA AMAN SEJATI 
DATANG DARI HIDUP YANG SUDAH DIBENARKAN
DAN DISELARASKAN 
DENGAN KEBENARAN TUHAN

MANUSIA TANPA DOSA

Yohanes 8:42-47

Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa? 
Apabila Aku mengatakan kebenaran, 
mengapa kamu tidak percaya kepada-Ku? 
(Yohanes 8:46)

Seorang guru sekolah bertanya di kelasnya, “Siapa di antara kalian yang belum pernah berbohong?” Seorang anak dengan cepat mengacungkan tangannya. Ketika semua mata memandangnya dengan kagum, perlahan ia menurunkan tangannya sambil berbisik lirih, “Maaf, saya telah berbohong.”

Ketika Tuhan Yesus menantang orang untuk menunjukkan adanya dosa yang pernah Dia perbuat (ayat 46), tak seorang pun yang bergegas bisa menyebutnya. Tantangan ini diberikan Yesus bukan di tempat yang asing atau di tempat yang baru ditinggali-Nya. Dia telah lama bersama-sama dengan orang-orang itu. Kalau selama bertahun-tahun tidak ada seorang pun yang dapat merekam satu kesalahan pun dari diri-Nya, ini sungguh membuktikan kesempurnaan hidup-Nya. Keberanian-Nya untuk mengajukan tantangan ini juga menunjukkan keyakinannya akan ketidak-berdosaan-Nya. 

Ini sekaligus klaim kuat bahwa Yesus adalah Allah, karena hanya Allah-lah yang sempurna dan tidak berdosa. Dengan demikian, setiap perkataan yang keluar dari mulut-Nya adalah kebenaran. Kekudusan hidup-Nya ditopang utuh oleh perkataan, pikiran, dan perbuatan-Nya yang tanpa cela.

Sebagai pribadi yang tidak berdosa, Tuhan Yesus tidak memerlukan penebus bagi diri-Nya dan sekaligus Dia memenuhi syarat untuk menjadi penebus. Kita bersyukur mengalami karya sempurna dari Tuhan Yesus. Biarlah kecemerlangan dan kesempurnaan Tuhan Yesus menjadi inspirasi dan pendorong bagi kita untuk hidup kudus. Mari tingkatkan rasa hormat akan kekudusan Allah dengan mengupayakan hidup yang murni dan bersih dari hari ke hari.

MARI HORMATI KEKUDUSAN TUHAN
DENGAN HIDUP SEBAGAIMANA YESUS HIDUP

BERPUASA YANG KUHENDAKI

Yesaya 58:1-12

Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, 
ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, 
dan melepaskan tali-tali kuk, 
supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya 
dan mematahkan setiap kuk ... 
(Yesaya 58:6)

Apa yang Anda pikirkan saat mendengar kata “puasa”? 
Saya langsung membayangkan tidak makan dan minum dalam kurun waktu tertentu, disertai doa-doa yang kata orang lebih “ampuh” daripada biasanya. 
Bagaimana seharusnya kita berpuasa?

KITAB SUCI mencatat apa yang Tuhan kehendaki ketika umat-Nya berpuasa. 

Menegakkan kebenaran, berbelas kasih kepada sesama (ayat 6-7). Tidak melakukan yang memberatkan sesama, apalagi mencelakakan (ayat 9). Menahan diri tidak menikmati apa yang diinginkan diri sendiri, tetapi memberikannya untuk memenuhi kebutuhan orang yang tak berdaya (ayat 10). 

Betapa Tuhan berang ketika umat-Nya menjalankan puasa hanya sebagai ritual belaka, dan menuntut Tuhan menjawab doa karena mereka merasa sudah melakukan kewajiban yang diminta (ayat 1-3). Kelihatannya saja mereka mencari dan merendahkan diri di hadapan Tuhan, tetapi sehari-harinya, mereka tidak takut melakukan apa yang jahat, seolah-olah Tuhan tidak ada (ayat 4-5).

Tuhan berjanji menyertai, bahkan memuaskan kebutuhan kita, ketika dalam puasa kita merelakan bagian kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain (ayat 11). Sikap itu dikatakan akan “membangun reruntuhan” yang sudah lama tak bisa dihuni (ayat 12). Belas kasihan dapat menembus hati yang keras hingga mereka juga dapat mengenal hidup yang berkenan kepada Tuhan. 

Betapa baiknya jika kita mengambil waktu untuk berdoa puasa dan menjalankannya seperti yang Tuhan kehendaki. Kita ditolong makin bertumbuh mengasihi dan makin mengandalkan-Nya; sesama pun dibawa makin mengenal-Nya melalui kasih kita kepada mereka.

PUASA, 
PERTAMA-TAMA MENGUBAH MANUSIA,
BUKAN MENGUBAH ALLAH.

TERSUNGKUR UNTUK BERSYUKUR

Lukas 17:11-19

Salah seorang dari mereka, 
ketika melihat bahwa ia telah sembuh, 
kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, 
lalu sujud di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. 
Orang itu orang Samaria. 
(Lukas 17:15-16)


Pengemis buta duduk di emper toko. Di sebelahnya ada papan bertuliskan, “Saya buta, kasihanilah saya”. 

Pria tua menghampirinya dan mengganti tulisan di papan, “Hari ini indah, sayangnya saya tak bisa melihatnya”. 

Tulisan di papan itu mengungkapkan hal yang sama, tetapi dengan cara berbeda. Yang pertama mengatakan bahwa pengemis itu buta; yang kedua mengatakan bahwa orang yang lalu-lalang sangat beruntung bisa melihat. 
Akhirnya, banyak orang memberi koin kepada pengemis itu setelah tulisannya diganti. Orang-orang itu bersyukur.

Bersyukur dan memuliakan Allah, itulah yang sedang diajarkan Yesus. Sepuluh orang sakit kusta memohon kesembuhan (ayat 13). Namun, Tuhan Yesus malah meminta mereka pergi memperlihatkan diri kepada imam (ayat 14). Dan, semua sembuh di tengah perjalanan. Adakah yang kembali kepada Dia? Ada! Namun, cuma satu orang Samaria yang kembali sambil memuliakan Allah dengan nyaring (ayat 15). Ia sujud; mengucap syukur di kaki Yesus, sebab ia bisa kembali menjalani kehidupan normal. Bagaimana dengan kesembilan orang lainnya? Datang kepada imam dan menunjukkan diri bahwa mereka tahir lebih penting daripada kembali dan bersyukur kepada Yesus.

Anugerah Allah yang “menyembuhkan” kita dari “penyakit” dosa dan maut semestinya mewujud dalam ucapan syukur. 

Mari melihat kembali isi doa kita. Dari sekian banyak doa permohonan, adakah ucapan syukur mengalir? 

Allah layak menerima syukur kita. Dia layak dimuliakan karena Pribadi-Nya dan karena apa yang telah Dia perbuat bagi kita. 
Selamat bersyukur!

SYUKUR 
MERUPAKAN PENGAKUAN 
BAHWA SEGALA YANG ADA
DAN TERJADI PADA KITA 
ADALAH BERKAT TUHAN

SOLUSI RASA TAKUT

Amsal 14:26-35

Dalam takut akan Tuhan ada ketenteraman yang besar, 
bahkan ada perlindungan bagi anak-anak-Nya 
(Amsal 14:26)


Jika merasa takut, kepada siapa Anda akan pergi? 

Kemenakan saya tanpa ragu akan menjawab: “Papa!” Kenapa? Karena Papa tidak takut! Mau ada hujan badai di luar, mati listrik semalaman, asal bersama papanya, ia bisa tidur tenang. 

Ya, jika merasa takut, baik anak-anak maupun orang dewasa akan mencari perlindungan kepada orang yang tidak takut, bisa menenteramkan hati kita yang kalut. Namun, bukankah tak ada manusia yang seratus persen bebas dari rasa takut? Yang berani dengan hujan badai mungkin ciut dengan krisis ekonomi. Yang tak takut dengan harimau bisa jadi kalut saat menghadapi sakit keras. Lalu dari mana kita bisa memperoleh ketenteraman sejati di kala takut?

Salah satu ayat Sabda Allah yang kita baca ini menjawab: “dalam takut akan Tuhan” (ayat 26). Sebuah nasihat yang kalau dipikir-pikir lagi agak janggal. Bagaimana bisa rasa takut diobati dengan “rasa takut” lainnya? 

Seorang pengkhotbah mendefinisikan takut akan Tuhan sebagai: “takut” untuk tidak menghormati atau memercayai Tuhan. Artinya, kita menghormati Tuhan dengan percaya ketika Dia berfirman: “Jangan takut, sebab Aku menyertai engkau,” (Yesaya 41:10). Kita tidak meragukan Tuhan yang berjanji: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau” (Ibrani 13:5).

Ketakutan apa yang Anda miliki saat ini? 

Solusi rasa takut dalam hal apa pun adalah takut akan Tuhan. Memercayakan diri kepada manusia yang terbatas dan bisa berubah, cepat atau lambat kita akan kecewa. 
Sebaliknya, Tuhan, Pencipta semesta, kuasa-Nya tidak terbatas dan tidak berubah. Takutlah untuk tidak memercayai-Nya, bukan yang lain.

DALAM TAKUT AKAN TUHAN, 
SEGALA KETAKUTAN DIKALAHKAN.

TERSALIB OLEH KITA

1 Petrus 2:18-25

Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, 
supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. 
Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh 
(1 Petrus 2:24)

Dalam lukisannya yang berjudul “The Raising of the Cross”, Rembrandt melakukan sesuatu yang tidak lazim dalam dunia lukis di Eropa saat itu. 

Ia melukis dirinya sendiri sebagai salah satu orang yang menyalibkan Kristus. Kesedihan menggelantung di raut wajahnya. Namun, kedua tangannya terlihat bersemangat memegang kayu salib. Melalui lukisan ini, ia menyampaikan sebuah paradoks. Ia tidak suka Kristus disalibkan, tetapi dosanyalah yang membuat Kristus naik ke atas kayu salib.

Jauh sebelum Rembrandt lahir, Rasul Petrus telah memahami kebenaran ini. Walau Kristus mati dengan cara disalibkan sebuah eksekusi yang ditujukan hanya bagi para kriminal kelas kakap, hukuman mati-Nya bukanlah karena Dia adalah seorang penjahat. 

Dengan tegas Petrus menyatakan bahwa Kristus tidak berbuat dosa (ayat 22). Bahkan, selama Yesus menjalani hukuman, Dia tidak mengeluarkan caci maki dan serangan kemarahan sebagaimana yang sering dilakukan oleh para terpidana mati zaman itu (ayat 23). Mengapa Dia harus mati disalibkan? Karena Dia hendak memikul dosa-dosa kita (ayat 24). 

Dia menggantikan kita untuk menanggung hukuman dosa kita supaya kita “sembuh”; supaya kita keluar dari ketersesatan kita dan kembali kepada Bapa surgawi (ayat 24-25).

Ketika kita memandang salib, apakah kita hanya melihat Kristus dan kerumunan orang-orang yang membenci-Nya? Adakah, seperti Rembrandt, kita melihat diri kita pun hadir di situ dan turut menyalibkan Dia? 

Berlututlah di bawah salib itu dan katakanlah dari hatimu, “Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau rela mati bagiku!”

KASIH YANG AGUNG! 
BAGAIMANA BISA ENGKAU,
TUHANKU, 
HARUS MATI BAGIKU?

MENYALIBKAN DOSA

Lukas 23:26-32

Yesus berpaling kepada mereka dan berkata: 
“Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, 
melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” 
(Lukas 23:28)


Menjelang Paskah, biasanya saya sibuk dengan berbagai persiapan perayaan, termasuk latihan drama tentang penyaliban Yesus yang catatannya kita baca hari ini. Sambil berlatih saya membayangkan kondisi Yesus saat itu. Setelah pergumulan rohani yang berat di Getsemani tanpa tidur sedikit pun, setelah semua penderitaan fisik dan mental di depan pengadilan, tentulah tubuh yang penuh luka-luka itu sangat lelah dan lemah. Mungkin karena itu Dia tidak kuat memikul salib-Nya, dan Simon dari Kirene ditarik untuk membantu.

Isak tangis para pengikut Yesus mengiringi perjalanan-Nya menuju Bukit Tengkorak. Yang mengejutkan, Yesus menegur mereka agar tidak menangisi diri-Nya, tetapi diri sendiri (ayat 28), karena Yerusalem akan ditimpa kehancuran dahsyat sebagai akibat penolakan Israel terhadap Yesus. Begitu parahnya keadaan saat itu hingga seorang ibu mandul, yang oleh bangsa Israel dianggap kena kutuk, akan mensyukuri keadaannya sebab ia tidak perlu melihat penderitaan anaknya dalam masa sulit itu (ayat 29).

Teguran ini mengingatkan bahwa tak cukup kita sekadar bersimpati pada kedahsyatan penderitaan yang ditanggung Yesus. Penderitaan-Nya seharusnya membangkitkan kearifan tentang betapa lebih mengerikan penderitaan orang yang tidak hidup serasi dengan salib Yesus. Mereka tidak mungkin luput dari murka Allah. Siapakah orang-orang itu? Mungkin diri kita sendiri. Mungkin kerabat atau sahabat kita. Menyalibkan dosa berarti memilih untuk diperdamaikan dengan Tuhan. Sudahkah kita melakukannya, atau mendorong orang lain mengambil langkah yang sama? Selamat menyalibkan dosa!

SALIB YESUS 
MENDAMAIKAN ALLAH DENGAN MANUSIA.
TIDAK ADA JALAN DAMAI LAINNYA.