Berkah Dalem Gusti

Selamat Datang di Blog ini bersama R. Slamet Widiantono,SS ------**------ TUHAN MEMBERKATI -----* KASIH ITU MEMBERIKAN DIRI BAGI SESAMA -----* JANGAN LUPA BAHAGIA -----* TERUS BERPIKIR POSITIF -----* SALAM DOA -----* slammy

Kamis, 18 April 2024

BABAK BARU

YOHANES 11:1-44

Jawab Yesus kepadanya, 
“Akulah kebangkitan dan hidup; siapa saja yang percaya kepada-Ku,
 ia akan hidup walaupun ia sudah mati, 
dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, 
tidak akan mati selama-lamanya.”
 (Yohanes 11:25-26)

Kematian bukanlah realitas yang menakutkan bagi Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog dan pendeta ternama dari Jerman. Hal itu terungkap melalui kata-kata terakhir yang meluncur dari bibir Bonhoeffer menjelang eksekusi atas dirinya: “This is the end for me, the beginning of life.” Kematian menjadi semacam babak baru bagi pria yang menjadikan Yesus Kristus dan Alkitab sebagai rujukan utama dalam hidupnya.

Peristiwa kebangkitan Lazarus adalah bukti yang tak terbantahkan. Bonhoeffer memandang kebangkitan laki-laki yang sudah berada di dalam kubur selama empat hari itu sebagai bukti, bahwa pernyataan Yesus bukan bualan belaka dan layak untuk dipercaya. Kebangkitan Lazarus—bahkan kebangkitan Yesus sendiri—menunjukkan Dia adalah Tuhan yang berkuasa atas kematian.

Kebangkitan dan hidup menjadi daya tarik dan sumber kekuatan bagi siapa pun yang mengakui kuasa keilahian Yesus. Dengan begitu kematian, dalam bentuk dan dengan cara apa pun, bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Tak ada alasan bagi orang percaya untuk berduka cita di ujung hidupnya. Babak baru dalam hidupnya justru bermula ketika dunia memandang kematian sebagai akhir dari segala-galanya.

Hidup Bonhoeffer berakhir di kamp konsentrasi Flossenbürg pada 9 April 1945 ketika Hitler menjatuhkan hukuman gantung. Namun, ia menjadi bukti yang tak terbantahkan untuk harapan akan babak baru kehidupan yang bergulir selepas jiwa terlepas dari raga.

BABAK BARU DALAM HIDUP PARA PENGIKUT KRISTUS
BERAWAL SAAT HELAAN NAFAS BERAKHIR

GEMBALA KEHIDUPAN

MAZMUR 23

Ia menuntun aku di jalan yang benar, oleh karena nama-Nya. 
(Mazmur 23:3)

Hampir setiap hari kita bepergian ke luar rumah. Normalnya, kita pasti hafal rute tercepat menuju tempat tujuan. Namun, ketika rute yang biasa kita lewati macet, daripada terjebak di dalamnya, kita memilih melewati rute lainnya. Sekalipun rute lain tersebut mungkin lebih jauh, hal itu jauh lebih baik dibanding menghabiskan waktu diam di tengah kemacetan.

Perjalanan kehidupan kita di dunia ini sebenarnya mirip perjalanan kehidupan sehari-hari. Setiap hari, kita dihadapkan pada “jalan-jalan” yang harus dilewati. “Jalan-jalan” itu adalah keputusan atau pilihan yang kita ambil setiap harinya. Namun, ketika melangkah ke depan, kita harus waspada karena ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut (Ams. 14:12). Daud sungguh menyadari kebenaran ini. Karena itulah, ia memilih Tuhan sebagai Gembalanya. Tidak peduli apakah Sang Gembala membawanya melewati rute biasa atau rute lembah kelam, Daud meyakini bahwa Dia pasti menuntunnya di jalan yang benar (ay. 3). Rute mana pun pilihan Tuhan, itu pastilah rute terbaik menuju padang yang berumput hijau dengan airnya yang tenang (ay. 2).

Setiap kita yang hendak menjadikan Tuhan sebagai Gembala Kehidupan harus mau taat pada instruksi-instruksi-Nya. Ketika Tuhan berkata “lewat”, kita harus lewat. Sebaliknya, apabila Tuhan tidak mengizinkan kita lewat, kita tidak boleh menerobos masuk. Sekalipun awalnya kita mungkin tidak mengerti maksud Tuhan, percayalah bahwa rute-rute pilihan-Nya selalu yang terbaik.

TANPA TUHAN SEBAGAI PENUNTUN, JANGAN HERAN APABILA KEHIDUPAN KITA
MENGALAMI KEMACETAN, KEBUNTUAN, DAN BERAKHIR MASUK JURANG

Niat dan Siasat

LUKAS 22:1-6

Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat mencari jalan, 
bagaimana mereka dapat membunuh Yesus, 
sebab mereka takut kepada orang banyak. 
(Lukas 22:2)


Yang paling menentukan tindakan manusia pertama-tama ialah niatnya. Kalau niat sudah bulat, maka segala yang menyusul kemudian hanyalah rentetan cara dan upaya agar niat itu terlaksana. Siasat namanya. Jika niatnya jahat, namun takut ketahuan, maka siasatnya pasti licik, mengembuskan udara bisik-bisik, dan berliku-liku penuh intrik. Permufakatan antara niat buruk dan siasat licik melahirkan aksi jahat.

Injil Lukas melukiskan kisah pengadilan Yesus menjelang penyaliban-Nya sebagai drama kejahatan yang licik penuh intrik. Mengapa? Sebab keputusan sudah ditetapkan sebelum pengadilan digelar. Yesus harus mati! Dia harus dibunuh! Niat sudah bulat. Selebihnya tinggal merajut siasat, yang diawali dari kolusi dengan Yudas Iskariot (ay. 5). Para saksi palsu, desakan kepada Pilatus, hasutan kepada orang banyak, semuanya hanyalah geliat siasat supaya akhirnya niat tersembunyi itu bisa diberi bobot resmi menjadi hukuman mati.

Niat hati patut selalu diwaspadai, termasuk yang ada di dalam diri kita sendiri. Sebab segala aktivitas kita sebenarnya hanyalah buah dari niat yang mengendalikan dari dalam. Bukankah semuanya berpulang pada niat? Kalau masih ada niat baik, segalanya masih dapat dirundingkan. Namun jika tidak, perundingan apa pun pasti alot, bahkan sia-sia. Jadi sebaiknya kita senantiasa kritis terhadap sebuah niat, termasuk niat yang terkandung dalam hati kita sendiri. Tuhan itu melihat hati kita, mengenali niat kita.

JAGALAH HATIMU DENGAN SEGALA KEWASPADAAN,
KARENA DARI SITULAH TERPANCAR KEHIDUPAN.
Amsal 4:23

Minggu, 17 Maret 2024

MASALAH = ADA DOSA?

Yohanes 9:1-7

Jawab Yesus, "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi supaya pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan di dalam dia.” (Yohanes 9:3)

Saya merasa kurang nyaman jika ada orang yang menghubung-hubungkan masalah keuangan yang kita alami dengan persepuluhan. Atau, jika orang mengaitkan suatu musibah atau penyakit sebagai hukuman atas dosa. Apakah masalah keuangan mutlak terjadi sebagai akibat kelalaian dalam memberikan persepuluhan? Apakah musibah atau sakit penyakit mutlak terjadi sebagai akibat dari dosa yang belum terselesaikan?

Dua peristiwa dalam Alkitab menunjukkan bagaimana sepatutnya kita menyikapi hal seperti itu. Pertama, kisah tentang Ayub. Ternyata reputasi saleh, jujur, takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan (Ayub 1:1) bukan jaminan tidak adanya masalah dalam hidup Ayub. Hanya dalam sekejap, Ayub kehilangan harta benda, keluarga, dan kesehatannya. Kedua, kisah murid Yesus bertemu dengan orang yang buta sejak lahir. Mereka bertanya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Tuhan Yesus menjawab, “Bukan dia, dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”

Ketika mendapati saudara seiman yang sedang bergumul dalam masalah, jangan cepat-cepat menghakimi bahwa hal itu terjadi karena dirinya lalai atau berbuat dosa. Masalah terjadi dalam hidup seseorang belum tentu sebagai teguran atas dosa kita. Bisa saja Tuhan memakai masalah untuk membentuk karakter kita atau untuk menyatakan pekerjaan ajaib-Nya dalam hidup kita. Kita perlu belajar melihat masalah sebagaimana Allah memandangnya.

DOSA MENIMBULKAN MASALAH DALAM HIDUP KITA,
NAMUN MASALAH TIDAK SELALU TIMBUL SEBAGAI AKIBAT DARI DOSA KITA

DOSA YANG TERCEGAH

Kejadian 20:1-18

Lalu berfirmanlah Allah kepadanya dalam mimpi: “Aku tahu juga, bahwa engkau telah melakukan hal itu dengan hati yang tulus, maka Aku pun telah mencegah engkau untuk berbuat dosa terhadap Aku; sebab itu Aku tidak membiarkan engkau menjamah dia.” (Kejadian 20:6)

Seorang gadis remaja yang hamil di luar nikah berniat menggugurkan kandungannya. Ia mendatangi sebuah klinik khusus yang melayani kaum perempuan yang bermasalah seperti dirinya. Tidak disangka, setelah mendapatkan penjelasan tentang proses aborsi, gadis itu mengurungkan niatnya. Ia pun memilih mempertahankan kandungannya. Gadis itu mungkin tidak menyadarinya, namun Tuhan telah bekerja secara diam-diam mencegahnya melakukan aborsi.

Dalam kisah Abraham ini, diceritakan pula bagaimana Tuhan berkuasa mencegah Abimelekh melakukan dosa. Kali ini dengan cara yang lebih terang-terangan. Abraham mengatakan bahwa Sara “hanyalah” adiknya sehingga raja Gerar itu berniat memperistri Sara (ay. 2). Tuhan yang mahatahu segera bertindak, memperingatkan Abimelekh melalui mimpi (ay. 3). Karena Abimelekh memiliki hati yang tulus, ia pun mendengarkan peringatan Tuhan itu dan mengembalikan Sara kepada Abraham (ay. 67).

Kita mungkin pernah mengalami hal yang serupa, yaitu Tuhan mencegah kita ketika kita nyaris berbuat dosa. Dia tidak menginginkan umat-Nya terjerumus ke dalam dosa. Bagaimanakah reaksi kita? Sebagai anak-Nya, kita dapat belajar mengembangkan kepekaan untuk mendengarkan suara Bapa kita dan dan menaati kehendak-Nya. Dia melatih kita untuk memilih perbuatan yang benar dan berguna bagi kesejahteraan kita. Bukankah kita patut bersyukur kepada Tuhan atas penjagaan-Nya terhadap hidup kita sehingga kita tehindar dari berbuat dosa?

KUASA TUHAN DAN HATI YANG BERSIH
MAMPU MENCEGAH KITA DARI MELAKUKAN DOSA

DIKEJAR DOSA

Mazmur 32:1-11

Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan ... dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku. (Mazmur 32:5)

Di kampung kami, puluhan orang ditangkap ketika berjudi, lalu dipenjara beberapa bulan. Pada 2012, seorang bapak yang telah dibebaskan kembali berjudi. Tiba-tiba muncul polisi. Ia berlari secepat mungkin, terjatuh, dan meninggal di tempat, diduga karena serangan jantung. Ternyata polisi itu datang untuk urusan kriminal lain yang juga terjadi di daerah kami.

Sejak dosa berkuasa dalam kehidupan manusia, tak ada lagi yang dapat dilakukan untuk merdeka darinya. Dosa serupa lumpur isap yang menyedot kita. Semakin kita bergerak, semakin kita terjebak di dalamnya. Anak-anak Tuhan pun tak lepas dari dosa, seperti terlihat dengan jelas dalam pengalaman Raja Daud. Ketika ia membiarkan dirinya berzinah dengan Batsyeba, ia membuka lebar pintu bagi dosa. Ia lalu terseret melakukan dosa-dosa lain, termasuk merencanakan kematian Uria, suami Batsyeba, untuk menutupi dosanya.

Selama beberapa waktu Daud memendam dan menyembunyikan dosanya. Mazmur 32 dan 51, yang ditulisnya berkaitan dengan kasus Batsyeba, menunjukkan betapa ia sangat menderita. Ia kehilangan gairah hidup, tertekan (32:34), remuk, dan kehilangan sukacita (51:10, 14). Akhirnya, ia melakukan tindakan yang benar. Ia datang dan mengaku dosanya kepada Tuhan. Dan ia mendapatkan pengampunan.

Apakah Anda bergumul untuk lepas dari dosa dengan upaya sendiri? Apakah sukacita Anda terampas karena dosa yang tersembunyi? Datang dan akuilah kepada Allah, maka Dia akan menyucikan Anda (1 Yoh. 1:9).

PENGAMPUNAN DOSA YANG TERSEDIA OLEH ANUGERAH ALLAH
BUKANLAH ALASAN UNTUK HIDUP SECARA SEMBRONO

KELUARGA ISTIMEWA

Kejadian 7:1-24

Masuklah ke dalam bahtera itu, engkau dan seisi rumahmu, sebab engkaulah yang Kulihat benar di hadapan-Ku di antara orang zaman ini. (Kejadian 7:1)


Ketika saya berjumpa dengan teman lama, hampir selalu ada pertanyaan mengenai keluarga. Pertanyaan yang biasanya diajukan, "Berapa anakmu? Umur berapa saja? Apakah mereka masih bersekolah atau sudah bekerja?" Bila kita memiliki keluarga yang baik, tentu kita akan dapat bercerita dengan bangga. Namun, pernahkah Anda membayangkan bahwa Allah bisa bangga terhadap Anda dan keluarga Anda? Andaikan hal itu terjadi, Anda dan keluarga Anda pastilah istimewa.

Hanya Nuh dan keluarganya yang diselamatkan dari bencana air bah yang mahadahsyat. Kita mungkin bertanya, apakah istimewanya keluarga ini? Nuh menonjol dan berbeda dari orang sezamannya karena ia benar dan tidak bercela. Nuh juga bergaul dengan Allah (6:9; 7:1). Hal ini berbeda sekali dengan keadaan dunia saat itu yang penuh dengan kejahatan dan kekerasan (6:5, 11). Saya membayangkan bagaimana Nuh dan keluarganya menghadapi tekanan yang berat dan cemoohan karena tidak turut serta dalam kejahatan orang-orang pada zaman itu. Mungkin saja ia harus menanggung cercaan dan pengucilan. Ia mampu menghadapinya karena Allah memberinya kasih karunia (6:8).

Dunia yang penuh dengan kejahatan dan kekerasan mengingatkan saya akan perkataan Yesus tentang akhir zaman. Yesus menyamakannya dengan zaman Nuh, masa ketika banyak orang terlena dalam kejahatan (Matius 24:37-39). Kita diminta waspada dan menjaga kesalehan hidup kita. Kita dapat belajar dari kisah Nuh. Oleh kasih karunia-Nya, biarlah keluarga kita hidup secara berbeda, menjadi terang bagi keluarga lain.

KASIH KARUNIA TUHAN MEMAMPUKAN KITA HIDUP SECARA BERBEDA,
TIDAK TERLENA OLEH ARUS KEJAHATAN DUNIA