Berkah Dalem Gusti

Selamat Datang di Blog ini bersama R. Slamet Widiantono,SS ------**------ TUHAN MEMBERKATI -----* KASIH ITU MEMBERIKAN DIRI BAGI SESAMA -----* JANGAN LUPA BAHAGIA -----* TERUS BERPIKIR POSITIF -----* SALAM DOA -----* slammy

Kamis, 04 Mei 2023

BERPUASA YANG KUHENDAKI

Yesaya 58:1-12

Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, 
ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, 
dan melepaskan tali-tali kuk, 
supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya 
dan mematahkan setiap kuk ... 
(Yesaya 58:6)

Apa yang Anda pikirkan saat mendengar kata “puasa”? 
Saya langsung membayangkan tidak makan dan minum dalam kurun waktu tertentu, disertai doa-doa yang kata orang lebih “ampuh” daripada biasanya. 
Bagaimana seharusnya kita berpuasa?

KITAB SUCI mencatat apa yang Tuhan kehendaki ketika umat-Nya berpuasa. 

Menegakkan kebenaran, berbelas kasih kepada sesama (ayat 6-7). Tidak melakukan yang memberatkan sesama, apalagi mencelakakan (ayat 9). Menahan diri tidak menikmati apa yang diinginkan diri sendiri, tetapi memberikannya untuk memenuhi kebutuhan orang yang tak berdaya (ayat 10). 

Betapa Tuhan berang ketika umat-Nya menjalankan puasa hanya sebagai ritual belaka, dan menuntut Tuhan menjawab doa karena mereka merasa sudah melakukan kewajiban yang diminta (ayat 1-3). Kelihatannya saja mereka mencari dan merendahkan diri di hadapan Tuhan, tetapi sehari-harinya, mereka tidak takut melakukan apa yang jahat, seolah-olah Tuhan tidak ada (ayat 4-5).

Tuhan berjanji menyertai, bahkan memuaskan kebutuhan kita, ketika dalam puasa kita merelakan bagian kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain (ayat 11). Sikap itu dikatakan akan “membangun reruntuhan” yang sudah lama tak bisa dihuni (ayat 12). Belas kasihan dapat menembus hati yang keras hingga mereka juga dapat mengenal hidup yang berkenan kepada Tuhan. 

Betapa baiknya jika kita mengambil waktu untuk berdoa puasa dan menjalankannya seperti yang Tuhan kehendaki. Kita ditolong makin bertumbuh mengasihi dan makin mengandalkan-Nya; sesama pun dibawa makin mengenal-Nya melalui kasih kita kepada mereka.

PUASA, 
PERTAMA-TAMA MENGUBAH MANUSIA,
BUKAN MENGUBAH ALLAH.

TERSUNGKUR UNTUK BERSYUKUR

Lukas 17:11-19

Salah seorang dari mereka, 
ketika melihat bahwa ia telah sembuh, 
kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, 
lalu sujud di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. 
Orang itu orang Samaria. 
(Lukas 17:15-16)


Pengemis buta duduk di emper toko. Di sebelahnya ada papan bertuliskan, “Saya buta, kasihanilah saya”. 

Pria tua menghampirinya dan mengganti tulisan di papan, “Hari ini indah, sayangnya saya tak bisa melihatnya”. 

Tulisan di papan itu mengungkapkan hal yang sama, tetapi dengan cara berbeda. Yang pertama mengatakan bahwa pengemis itu buta; yang kedua mengatakan bahwa orang yang lalu-lalang sangat beruntung bisa melihat. 
Akhirnya, banyak orang memberi koin kepada pengemis itu setelah tulisannya diganti. Orang-orang itu bersyukur.

Bersyukur dan memuliakan Allah, itulah yang sedang diajarkan Yesus. Sepuluh orang sakit kusta memohon kesembuhan (ayat 13). Namun, Tuhan Yesus malah meminta mereka pergi memperlihatkan diri kepada imam (ayat 14). Dan, semua sembuh di tengah perjalanan. Adakah yang kembali kepada Dia? Ada! Namun, cuma satu orang Samaria yang kembali sambil memuliakan Allah dengan nyaring (ayat 15). Ia sujud; mengucap syukur di kaki Yesus, sebab ia bisa kembali menjalani kehidupan normal. Bagaimana dengan kesembilan orang lainnya? Datang kepada imam dan menunjukkan diri bahwa mereka tahir lebih penting daripada kembali dan bersyukur kepada Yesus.

Anugerah Allah yang “menyembuhkan” kita dari “penyakit” dosa dan maut semestinya mewujud dalam ucapan syukur. 

Mari melihat kembali isi doa kita. Dari sekian banyak doa permohonan, adakah ucapan syukur mengalir? 

Allah layak menerima syukur kita. Dia layak dimuliakan karena Pribadi-Nya dan karena apa yang telah Dia perbuat bagi kita. 
Selamat bersyukur!

SYUKUR 
MERUPAKAN PENGAKUAN 
BAHWA SEGALA YANG ADA
DAN TERJADI PADA KITA 
ADALAH BERKAT TUHAN

SOLUSI RASA TAKUT

Amsal 14:26-35

Dalam takut akan Tuhan ada ketenteraman yang besar, 
bahkan ada perlindungan bagi anak-anak-Nya 
(Amsal 14:26)


Jika merasa takut, kepada siapa Anda akan pergi? 

Kemenakan saya tanpa ragu akan menjawab: “Papa!” Kenapa? Karena Papa tidak takut! Mau ada hujan badai di luar, mati listrik semalaman, asal bersama papanya, ia bisa tidur tenang. 

Ya, jika merasa takut, baik anak-anak maupun orang dewasa akan mencari perlindungan kepada orang yang tidak takut, bisa menenteramkan hati kita yang kalut. Namun, bukankah tak ada manusia yang seratus persen bebas dari rasa takut? Yang berani dengan hujan badai mungkin ciut dengan krisis ekonomi. Yang tak takut dengan harimau bisa jadi kalut saat menghadapi sakit keras. Lalu dari mana kita bisa memperoleh ketenteraman sejati di kala takut?

Salah satu ayat Sabda Allah yang kita baca ini menjawab: “dalam takut akan Tuhan” (ayat 26). Sebuah nasihat yang kalau dipikir-pikir lagi agak janggal. Bagaimana bisa rasa takut diobati dengan “rasa takut” lainnya? 

Seorang pengkhotbah mendefinisikan takut akan Tuhan sebagai: “takut” untuk tidak menghormati atau memercayai Tuhan. Artinya, kita menghormati Tuhan dengan percaya ketika Dia berfirman: “Jangan takut, sebab Aku menyertai engkau,” (Yesaya 41:10). Kita tidak meragukan Tuhan yang berjanji: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau” (Ibrani 13:5).

Ketakutan apa yang Anda miliki saat ini? 

Solusi rasa takut dalam hal apa pun adalah takut akan Tuhan. Memercayakan diri kepada manusia yang terbatas dan bisa berubah, cepat atau lambat kita akan kecewa. 
Sebaliknya, Tuhan, Pencipta semesta, kuasa-Nya tidak terbatas dan tidak berubah. Takutlah untuk tidak memercayai-Nya, bukan yang lain.

DALAM TAKUT AKAN TUHAN, 
SEGALA KETAKUTAN DIKALAHKAN.

TERSALIB OLEH KITA

1 Petrus 2:18-25

Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, 
supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. 
Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh 
(1 Petrus 2:24)

Dalam lukisannya yang berjudul “The Raising of the Cross”, Rembrandt melakukan sesuatu yang tidak lazim dalam dunia lukis di Eropa saat itu. 

Ia melukis dirinya sendiri sebagai salah satu orang yang menyalibkan Kristus. Kesedihan menggelantung di raut wajahnya. Namun, kedua tangannya terlihat bersemangat memegang kayu salib. Melalui lukisan ini, ia menyampaikan sebuah paradoks. Ia tidak suka Kristus disalibkan, tetapi dosanyalah yang membuat Kristus naik ke atas kayu salib.

Jauh sebelum Rembrandt lahir, Rasul Petrus telah memahami kebenaran ini. Walau Kristus mati dengan cara disalibkan sebuah eksekusi yang ditujukan hanya bagi para kriminal kelas kakap, hukuman mati-Nya bukanlah karena Dia adalah seorang penjahat. 

Dengan tegas Petrus menyatakan bahwa Kristus tidak berbuat dosa (ayat 22). Bahkan, selama Yesus menjalani hukuman, Dia tidak mengeluarkan caci maki dan serangan kemarahan sebagaimana yang sering dilakukan oleh para terpidana mati zaman itu (ayat 23). Mengapa Dia harus mati disalibkan? Karena Dia hendak memikul dosa-dosa kita (ayat 24). 

Dia menggantikan kita untuk menanggung hukuman dosa kita supaya kita “sembuh”; supaya kita keluar dari ketersesatan kita dan kembali kepada Bapa surgawi (ayat 24-25).

Ketika kita memandang salib, apakah kita hanya melihat Kristus dan kerumunan orang-orang yang membenci-Nya? Adakah, seperti Rembrandt, kita melihat diri kita pun hadir di situ dan turut menyalibkan Dia? 

Berlututlah di bawah salib itu dan katakanlah dari hatimu, “Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau rela mati bagiku!”

KASIH YANG AGUNG! 
BAGAIMANA BISA ENGKAU,
TUHANKU, 
HARUS MATI BAGIKU?

MENYALIBKAN DOSA

Lukas 23:26-32

Yesus berpaling kepada mereka dan berkata: 
“Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, 
melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” 
(Lukas 23:28)


Menjelang Paskah, biasanya saya sibuk dengan berbagai persiapan perayaan, termasuk latihan drama tentang penyaliban Yesus yang catatannya kita baca hari ini. Sambil berlatih saya membayangkan kondisi Yesus saat itu. Setelah pergumulan rohani yang berat di Getsemani tanpa tidur sedikit pun, setelah semua penderitaan fisik dan mental di depan pengadilan, tentulah tubuh yang penuh luka-luka itu sangat lelah dan lemah. Mungkin karena itu Dia tidak kuat memikul salib-Nya, dan Simon dari Kirene ditarik untuk membantu.

Isak tangis para pengikut Yesus mengiringi perjalanan-Nya menuju Bukit Tengkorak. Yang mengejutkan, Yesus menegur mereka agar tidak menangisi diri-Nya, tetapi diri sendiri (ayat 28), karena Yerusalem akan ditimpa kehancuran dahsyat sebagai akibat penolakan Israel terhadap Yesus. Begitu parahnya keadaan saat itu hingga seorang ibu mandul, yang oleh bangsa Israel dianggap kena kutuk, akan mensyukuri keadaannya sebab ia tidak perlu melihat penderitaan anaknya dalam masa sulit itu (ayat 29).

Teguran ini mengingatkan bahwa tak cukup kita sekadar bersimpati pada kedahsyatan penderitaan yang ditanggung Yesus. Penderitaan-Nya seharusnya membangkitkan kearifan tentang betapa lebih mengerikan penderitaan orang yang tidak hidup serasi dengan salib Yesus. Mereka tidak mungkin luput dari murka Allah. Siapakah orang-orang itu? Mungkin diri kita sendiri. Mungkin kerabat atau sahabat kita. Menyalibkan dosa berarti memilih untuk diperdamaikan dengan Tuhan. Sudahkah kita melakukannya, atau mendorong orang lain mengambil langkah yang sama? Selamat menyalibkan dosa!

SALIB YESUS 
MENDAMAIKAN ALLAH DENGAN MANUSIA.
TIDAK ADA JALAN DAMAI LAINNYA.

SAYA BERIMAN ....

Kejadian 6:9-22

Lalu Nuh melakukan semuanya itu; 
tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, 
demikianlah dilakukannya 
(Kejadian 6:22)

Kata “iman” sangat kerap disebut dalam percakapan sesehari tanpa lagi dipikirkan kebenarannya. Pasti kita pernah mendengar kalimat seperti: “Mari kita beriman bahwa hari ini tidak akan hujan” atau “Kita beriman bahwa Tuhan akan mencukupi pendanaan retret ini,” dan sebagainya. Namun, inikah yang dimaksud dengan iman?

Ketika Allah meminta Nuh untuk membuat bahtera karena Allah akan menghukum manusia dengan air bah, dengan segera ia melakukannya (ayat 22). Secara manusiawi ia sebenarnya tidak memiliki cukup dasar untuk memercayai perintah dan janji semacam itu. Namun, ia tidak menuntut Allah untuk memberikan gerimis sepanjang tahun atau banjir selutut terlebih dahulu untuk sekadar menopang keyakinannya. Baginya, Allah sendirilah jaminan dari penggenapan janji tersebut. Kepercayaannya bertumpu kepada Pribadi Allah dan Firman-Nya. Ia percaya bahwa apa yang dikatakan Allah senantiasa benar dan bahwa Dia sanggup menepati perkataan-Nya. Itulah respons dari hidup yang bergaul dengan Allah (ayat 9). Itulah iman! Iman adalah wujud penghormatan kepada Allah yang kita percayai kesempurnaan-Nya. Iman yang semacam ini akan ditindaklanjuti dalam ketaatan yang tanpa syarat.

Bagaimana selama ini kita melatih iman kita? Apakah kita berupaya memahami setiap perintah dan janji Allah dengan benar? Apakah kita gemar menaati apa yang jelas-jelas Allah nyatakan atau kita lebih suka mengklaim apa yang belum tentu Allah maksudkan? Hati-hati kalau ternyata selama ini kita justru banyak meyakini hal-hal yang tidak pernah Allah perintahkan atau janjikan.

IMAN YANG BENAR PASTI MEMILIKI DASAR.
IMAN YANG KUAT PASTI BERBUAH TAAT.


BLIND SPOT

Lukas 15:11-32

Kata ayahnya kepadanya:
Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, 
dan segala milikku adalah milikmu 
(Lukas 15:31)

Kaca spion menolong kita melihat kendaraan lain di belakang tanpa perlu menoleh. Namun, ada area dalam jarak tertentu yang tak bisa dilihat lewat kaca spion disebut “titik-buta” (blindspot). Satu-satunya cara untuk melihatnya hanyalah dengan menoleh. Sesuatu di area “titik-buta” harus selalu kita tengok dengan sadar, bersengaja, dan waspada. Baru kita bisa melihatnya ada.

Jarak yang dekat seyogianya membuat sesuatu lebih mudah dilihat. Namun, nyatanya tak selalu demikian. Sesuatu yang dekat kadang kala justru menjadi “titik buta”  yang kerap luput dari pengamatan. Hal itu pula yang dialami oleh si anak sulung dalam perumpamaan Tuhan Yesus. Kedekatan si sulung dengan sang ayah tak lantas membuatnya sanggup “melihat” kasih dan kebaikan hati sang bapa (ayat 29-30). Ia adalah anak yang juga memiliki apa yang dimiliki sang bapa (ayat 31), tetapi ia punya “titik buta” akan kebaikan bapanya. Ia pun terkejut saat kebaikan itu dilimpahkan kepada si adik yang pulang dari ketersesatannya (ayat 30). Padahal kebaikan yang sama telah tersedia baginya tiap hari begitu dekat.

Apakah tanpa sadar kita menjadi seperti si sulung mengalami anugerah dan berkat dalam keseharian: udara sejuk, panca indera yang berfungsi normal, orangtua, saudara, anak, tempat tinggal, tenaga dan kendaraan untuk bekerja, kesempatan bersekolah, rasa kantuk dan tempat tidur, tetapi lupa melihat dan mensyukuri Sang Pemberi. Mungkin saja Dia yang begitu dekat tak lagi kita rasakan kehadiran-Nya. Lalu penyertaan-Nya kita anggap bukan lagi hal yang istimewa. Sadari dan nikmatilah waktu-waktu Anda di dekat-Nya dan bersyukurlah.

TUHAN HADIR BEGITU DEKAT;
LIHAT DAN NIKMATILAH KESEMPATAN BERSAMA-NYA 
TANPA TERLEWAT.