“Aku berpikir:
Takut akan Allah tidak ada di tempat ini; tentulah aku akan dibunuh karena isteriku.”
(Kejadian 20:11)
Sejak manusia jatuh dalam dosa, ketidakjujuran layaknya bumbu penyedap yang selalu ada di setiap menu kehidupan. Dengan alasan malu, takut, bahkan demi kebaikan, acap kali kita berkompromi dan berbohong. Slogan: “orang jujur akan hancur” secara tidak sadar mungkin kita yakini sebagai prinsip yang sudah melekat di tengah keseharian kita di masyarakat.
Jika kita menyimak sepenggal kisah Abraham, kita pun mendapati aspek ketidakjujuran dalam dirinya. Dengan alasan takut dibunuh oleh Abimelekh, ia berdusta, mengatakan bahwa Sara ialah saudaranya—bukan istrinya. Tuhan Yesus, dalam Matius 5:37 memberikan penegasan mengenai bagaimana kita mesti bertindak jujur. Dia berkata bahwa kita mesti tegas, tidak kompromistis pada apa pun, sebab “... apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat.” Dengan kata lain, sekecil apa pun ketidakjujuran, yang disebut dusta tetaplah dusta; dan itu adalah dosa, apa pun alasannya.
Setiap kita tentu pernah tidak jujur. Celakanya, sekali kita tidak jujur, akan diikuti oleh ketidakjujuran kedua, ketiga, dan seterusnya. Akibatnya, kita terperosok makin dalam di jurang kebohongan yang kita ciptakan sendiri. Bertobat, mohon pengampunan dan pertolongan Tuhan untuk lepas dari jerat itu. Jika diperhadapkan pada keseharian, memang tidak mudah menjalankannya. Ada risiko diabaikan, dijauhi, bahkan dimusuhi orang lain ketika kita tampil jujur di tengah dunia yang tidak jujur. Namun, Tuhan disenangkan dengan kejujuran kita.
MELAKUKAN KEBOHONGAN SAMA DENGAN MENYIMPAN BOM WAKTU
YANG SETIAP SAAT DAPAT MELEDAK DAN MENGHANCURKAN ANDA
Sejak manusia jatuh dalam dosa, ketidakjujuran layaknya bumbu penyedap yang selalu ada di setiap menu kehidupan. Dengan alasan malu, takut, bahkan demi kebaikan, acap kali kita berkompromi dan berbohong. Slogan: “orang jujur akan hancur” secara tidak sadar mungkin kita yakini sebagai prinsip yang sudah melekat di tengah keseharian kita di masyarakat.
Jika kita menyimak sepenggal kisah Abraham, kita pun mendapati aspek ketidakjujuran dalam dirinya. Dengan alasan takut dibunuh oleh Abimelekh, ia berdusta, mengatakan bahwa Sara ialah saudaranya—bukan istrinya. Tuhan Yesus, dalam Matius 5:37 memberikan penegasan mengenai bagaimana kita mesti bertindak jujur. Dia berkata bahwa kita mesti tegas, tidak kompromistis pada apa pun, sebab “... apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat.” Dengan kata lain, sekecil apa pun ketidakjujuran, yang disebut dusta tetaplah dusta; dan itu adalah dosa, apa pun alasannya.
Setiap kita tentu pernah tidak jujur. Celakanya, sekali kita tidak jujur, akan diikuti oleh ketidakjujuran kedua, ketiga, dan seterusnya. Akibatnya, kita terperosok makin dalam di jurang kebohongan yang kita ciptakan sendiri. Bertobat, mohon pengampunan dan pertolongan Tuhan untuk lepas dari jerat itu. Jika diperhadapkan pada keseharian, memang tidak mudah menjalankannya. Ada risiko diabaikan, dijauhi, bahkan dimusuhi orang lain ketika kita tampil jujur di tengah dunia yang tidak jujur. Namun, Tuhan disenangkan dengan kejujuran kita.
MELAKUKAN KEBOHONGAN SAMA DENGAN MENYIMPAN BOM WAKTU
YANG SETIAP SAAT DAPAT MELEDAK DAN MENGHANCURKAN ANDA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar