Berkah Dalem Gusti

Selamat Datang di Blog ini bersama R. Slamet Widiantono,SS ------**------ TUHAN MEMBERKATI -----* KASIH ITU MEMBERIKAN DIRI BAGI SESAMA -----* JANGAN LUPA BAHAGIA -----* TERUS BERPIKIR POSITIF -----* SALAM DOA -----* slammy

Rabu, 07 Agustus 2024

GRATIA LAHIRKAN GRATITUDE

1 Timotius 1:12-17

Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya, 
“Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa,” 
dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. 
(1 Timotius 1:15)

Ada sebuah ungkapan: Gratia (anugerah) melahirkan gratitude (syukur). 
Kesadaran akan anugerah Tuhan dalam kehidupan kita akan menghasilkan limpahan ucapan syukur. Ketika anugerah tidak disadari, kita bisa menganggap banyak hal memang sudah sepatutnya kita terima, dan rasa syukur pun berangsur pudar.

Pernyataan Paulus yang baru saja kita baca menunjukkan kesadarannya yang sangat kuat akan anugerah Tuhan dalam hidupnya. Ia adalah orang yang menyetujui perajaman martir pertama, Stefanus. 

Lalu, ia mengancam dan menangkapi para pengikut Kristus (lihat Kisah Para Rasul 8:1; 9:1- 2). Ia penghujat dan penganiaya, seorang yang ganas (ayat 13). 

Namun, Tuhan berkenan menampakkan diri kepadanya, mengubah hidupnya, dan memercayakan pelayanan pemberitaan Injil kepadanya. Paulus tidak sedang membanggakan masa lalunya yang penuh dosa. Ia tengah dipenuhi rasa syukur yang lahir dari limpahnya anugerah Tuhan (ayat 14). 

Orang boleh memandangnya sebagai seorang rasul besar, pengkhotbah hebat, tetapi ia sadar betul ia hanyalah seorang pendosa besar yang mendapat kasih karunia Tuhan (15-16).

Kita perlu terus mengingatkan diri bahwa kesempatan melayani Tuhan adalah kasih karunia, bukan sesuatu yang bisa kita lakukan karena kita lebih baik atau lebih mampu dari orang lain. Kita bahkan tidak bisa menyebut pelayanan sebagai balas budi atas anugerah-Nya, sebab kemurahan Tuhan tidak dapat kita tukar atau ganti dengan ragam kebaikan kita. Biarlah anugerah Tuhan sekali lagi melahirkan syukur di hati kita, dan menggerakkan kita untuk melayani-Nya.

KEMBALIKAN SYUKUR DI HATI
DENGAN MENGINGAT KASIH KARUNIA TUHAN.

PENYULUH KATOLIK GIAT DI BULAN AGUSTUS 24

Mengikuti Kegiatan Kantor yakni berbagai Pembinaan setiap Senin Apel Pagi di halaman Kantor, Jumat Sore Apel bersama seluruh ASN KEMENAG BANTUL bawah atap



Mendampingi dan pembinaan bagi warga binaan di RUTAN PAJANGAN




Pendampingan dan pembinaan iman anak Katolik di beberapa wilayah kapanewon yang berada dibawah Kabupaten Bantul


Mendoakan Penguasa

1 Timotius 2:1-7

Karena itu, pertama-tama aku menasihatkan: 
Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, 
untuk raja-raja dan semua pembesar, 
agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan. 
(1 Timotius 2:1-2)

Dua berita berlawanan di halaman koran yang sama: 
1. Sejumlah warga mengelu-elukan presiden. 
2. Para mahasiswa dan demonstran membakar foto presiden dan berikrar menggulingkannya. 


Itulah dua sikap rakyat terhadap pemimpin yang mereka dapati tak sempurna; yang buruk dalam mengelola negara. Sebagai warga negara sekaligus warga gereja, bagaimana sikap kita?

Paulus menasihatkan Timotius dan jemaat untuk mendoakan para penguasa agar mereka dimampukan untuk menciptakan situasi yang lebih baik bagi rakyat, kondusif bagi ibadah dan penyebarluasan berita keselamatan (ayat 2-4,7). 

Dengan frase “pertama-tama” (ayat 1), Paulus memberi penekanan bahwa ini adalah sesuatu yang penting; perlu diberi prioritas. Mendoakan penguasa juga merupakan wujud pernyataan iman jemaat, bahwa mereka hanya menyembah satu Allah, yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus (ayat 5-6), bukan kaisar Roma.

Nasihat Paulus mengingatkan jemaat bahwa penguasa kejam yang tampak sangat berkuasa itu tetaplah makhluk ciptaan yang lemah dan perlu didoakan.

Kemajuan teknologi informasi kini memudahkan kita melaksanakan panggilan bersyafaat bagi para pejabat daerah, pemimpin nasional, bahkan pemimpin dunia. 

Mari gunakan mata iman dan mata hati ketika menonton atau membaca berita tentang para pemimpin—positif pun negatif. 

Merayakan kemerdekaan RI ke-79 ini, mari memulainya dengan pemerintah bangsa kita.

MENDUKUNG PEMIMPIN ADALAH PILIHAN WARGA NEGARA,
BERSYAFAAT UNTUK MEREKA ADALAH KEHARUSAN WARGA GEREJA.

TERANG BAGI NEGERI

Matius 5:13-16

Lagi pula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah tempayan, 
melainkan di atas kaki pelita sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. 
(Matius 5:15)

Kedua anak perempuan teman saya, nama Dita dan Dina punya cita-cita istimewa. Yang sulung ingin menjadi hakim. Yang bungsu ingin menjadi jaksa. Mereka ingin menjadi para penegak kebenaran dan pembela yang lemah. Saya bertanya bagaimana mereka bisa punya cita-cita semulia itu. 

Dengan mimik serius layaknya orang dewasa, Dina menjawab, “Aku belajar dari Alkitab, Tuhan sangat menentang ketidakadilan dan kejahatan. Namun, itulah yang banyak terjadi sekarang.” 

Tiap mengingat mereka saya terharu. Kedua anak itu rindu menjadi terang di tempat yang dianggap banyak orang kotor, penuh kegelapan.

Yesus mengingatkan murid-murid-Nya bahwa untuk memenuhi fungsinya, terang harus berada di tempat yang tepat, yaitu di tempat yang bisa dilihat orang (ayat 16). Bukankah “dilihat orang” itu terkesan sombong? 

Dalam konteks ini tidak, karena tujuannya adalah orang dibawa memuji Tuhan, bukan kebaikan manusia. Berada di tempat yang tepat dimaksudkan agar fungsi terang itu maksimal (ayat 15). 

Di manakah terang paling berfungsi jika bukan di tempat yang gelap? 
Kapan orang membutuhkan cahaya untuk melihat kota di atas gunung 
atau beraktivitas di dalam rumah? 
Bukankah pada saat gelap meliputi?

Kerap kali pelita orang kristiani “tersembunyi” selama hari kerja, karena yang dianggap pelayanan hanyalah aktivitas hari Minggu di gereja. 

Padahal, dunia yang butuh diterangi itu mencakup semua bidang kehidupan—hukum dan pemerintahan, bisnis dan ekonomi, kesehatan dan pendidikan, media, bahkan seni, dan hiburan. 

Ketika menjumpai “kegelapan” di negeri ini, biarlah kita tidak putus harapan, tetapi justru bersemangat, karena di sanalah kesempatan yang sesungguhnya menjadi terang dunia.

DI MANAKAH ANDA DAN SAYA SEHARUSNYA BERADA
AGAR BANYAK ORANG MELIHAT KEBENARAN DAN MEMULIAKAN TUHAN?

Minggu, 04 Agustus 2024

Menyangkal Diri

Lukas 9:22-27

Kata-Nya kepada mereka semua:
 “Setiap orang yang mau mengikut Aku harus menyangkal dirinya, 
memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku." 
(Lukas 9:23)


Menyangkal diri biasanya sering diartikan dengan meninggalkan sesuatu yang baik dan diinginkan seperti keberhasilan karir dan kenyamanan materi, demi mengikut Kristus. 

Namun, banyak yang enggan meninggalkan karakter yang buruk demi mengikut Kristus. Mungkin kita pernah mendengar orang yang berkata: “Aku memang pemarah. Itu sudah turunan, tidak bisa diubah.” Atau, “Aku begini ya karena keluargaku berantakan.” 
Keluarga, masa lalu, dan situasi bisa jadi kambing hitam ketidakmauan orang untuk berubah.

Yesus sangat jelas dengan tanggung jawab personal dalam mengikut Dia. 
“Setiap orang” punya tanggung jawab untuk menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Yesus. Apa pun latar belakang dan situasi orang itu. 

Ketika kita menyangkal tanggung jawab atas kebiasaan buruk kita, bukankah itu sama saja dengan berkata: “Tuhan, kalau aku disuruh berubah, aku tidak bisa ikut Engkau. Tuhan kan tahu situasiku.” Kita sama saja dengan orang yang berusaha “menyelamatkan diri sendiri” dan menyalahkan semua yang lain, termasuk Tuhan. Kita mau ikut Dia dengan catatan kita bebas menentukan bagaimana caranya. Bukankah itu menunjukkan bahwa kita sebenarnya sedang menolak mengikut Dia?

Yesus menghendaki kita mengikuti Dia, meneladani hidup-Nya yang memuliakan Allah. 
Adakah kebiasaan buruk yang harus kita tinggalkan demi hal itu? Mari mengakui kebiasaan buruk itu sebagai kesalahan kita pribadi, bukan orang lain, masa lalu, atau situasi di sekitar kita. Meninggalkannya mungkin butuh perjuangan. 
Namun, itulah kehendak Yesus bagi kita. Dia yang memanggil akan memampukan kita untuk melakukannya!

MENYANGKAL DIRI TERMASUK MENINGGALKAN SIFAT BURUK
YANG SELAMA INI NYAMAN KITA LAKUKAN.

Menjadi Orang Kecil

Lukas 10:21-24

... bergembiralah Yesus ... dan berkata, “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, ... 
karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, 
tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. 
Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu. 
(Lukas 10:21)

“Kita bisa belajar banyak dari orang-orang kecil,” mungkin Anda pernah mendengar kalimat bijak semacam ini. Orang kecil di sini jelas bukan berarti orang yang memiliki tubuh kecil. 
Maksudnya adalah orang yang sederhana, jauh dari gelimang harta, mungkin hanya pegawai rendahan yang tidak dianggap siapa-siapa. Melihat kondisi mereka, orang-orang yang memiliki taraf hidup lebih baik diingatkan untuk belajar bersyukur dan lebih menghargai apa yang mereka miliki.

Yesus juga bersukacita karena pernyataan Bapa kepada orang kecil (ayat 21). 

Apakah yang dimaksudkan sama dengan “orang kecil” yang biasa kita pahami? Ternyata tidak. 

Dalam bahasa aslinya, Yesus menggunakan kata yang berarti “anak kecil”. Melihat konteks Lukas 10, Yesus mengatakan hal ini pada waktu tujuh puluh murid-Nya kembali dari pelayanan dan berkisah bahwa mereka mengalami pernyataan kuasa Tuhan secara luar biasa (ayat 17-20). 

Yesus bersukacita karena pernyataan Bapa kepada mereka. Jelas mereka bukan anak kecil. Ini adalah kiasan untuk menunjukkan kerendahan hati anak kecil: bergantung penuh dan menyambut pertolongan yang dibutuhkan (bandingkan Matius 18:3; 19:14). 

Dengan demikian orang bijak dan orang pandai yang dikontraskan di sini dapat diartikan sebagai mereka yang sombong, mengandalkan diri sendiri, tidak butuh pertolongan Tuhan.

Bagaimana Tuhan akan menyatakan diri jika kita merasa “sudah tahu”, “sudah bisa”, dan tak mau dengan rendah hati membuka diri untuk diajar? 
Jika ini mewakili sikap Anda, ingatlah selalu, 
Tuhan bersuka cita menyatakan diri kepada orang-orang kecil.

ALLAH MENENTANG ORANG YANG CONGKAK, 
TETAPI MEMBERI ANUGERAH
KEPADA ORANG YANG RENDAH HATI—
1 PETRUS 5:5

Penghargaan

Lukas 17:7-10

Demikian jugalah kamu. 
Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, 
hendaklah kamu berkata: 
Kami hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan. 
(Lukas 17:10)

Cukup sering saya merasa gagal ketika menyelesaikan suatu tugas. Perasaan kecewa dan menyalahkan diri semakin kuat bila tugas yang saya kerjakan itu dilihat oleh banyak orang. Selidik punya selidik, perasaan gagal itu ternyata terkait dengan tanggapan orang lain. Ketika hasil kerja saya tampaknya kurang dihargai, saya merasa kecewa. Saya berharap pujian, tetapi justru kritiklah yang lebih banyak saya terima.

Keinginan mendapatkan penghargaan merupakan salah satu penghalang kita melayani Allah. Itu sebabnya Yesus mengingatkan murid-murid-Nya dengan mengutip tata krama seorang hamba terhadap tuannya sebagaimana kebiasaan pada zaman itu. Ketika melakukan tugas, kita bukanlah tuan yang berhak menerima pujian. 

Sebaliknya, kita adalah hamba. Bahkan, bukan hanya pujian yang tidak layak kita terima, sekadar ucapan terima kasih pun tidak boleh kita harapkan. Apakah dengan demikian Allah adalah Tuan yang kejam? Sama sekali tidak. 

Karena Yesus, Allah yang menjadi manusia itu memberikan teladan bagi kita. Yesus menggenapkan seluruh tugas yang dibebankan Allah, yaitu sampai mati di atas kayu salib dalam kehinaan tiada tara.

Apakah Anda merasa lesu melayani Tuhan? 
Anda bermaksud meninggalkan tugas pelayanan yang Tuhan percayakan? Atau Anda tidak ingin melayani karena merasa pelayanan itu tidak ada gunanya? 

Bila keinginan itu muncul, cobalah selidiki, apakah hal itu terkait oleh tiadanya penghargaan atau pujian yang Anda terima. Lalu, pandanglah Kristus yang telah meninggalkan teladan dengan hidup sebagai hamba, sekalipun Dia adalah Tuan kita.

BERSYUKURLAH KEPADA KRISTUS YANG TELAH MELAYANI KITA.
BANGKITKAN KEMBALI SEMANGAT PELAYANAN DENGAN MENELADANI-NYA.