Mazmur 57
“Hatiku siap, ya Allah, hatiku siap;
aku mau menyanyi, aku mau bermazmur.
Bangunlah, hai jiwaku,
bangunlah, hai gambus dan kecapi …”
(Mazmur 57:8-9)
"Ah saya tidak bisa menyembah nih. Musiknya tidak pas di hati!” keluh seorang umat di akhir ibadat. Sepintas, keluhan ini terdengar wajar. Namun, keluhan ini berasal dari mentalitas penonton yang kerap kali menjangkiti banyak orang percaya.
Bagi seorang penonton, ia akan bernyanyi jika musik berhasil menggugah dirinya. Dengan kata lain, penyembahannya tergantung dari musik. Jika musiknya tak sesuai selera, ia mogok menyembah Tuhan. Ia melemparkan kesalahan pada musik. Sikap apakah yang diinginkan Tuhan ketika kita menyembah-Nya?
Mazmur 57, yang ditulis Daud ketika lari dari kejaran Saul, meneladankan sikap seorang penyembah yang sejati. Perhatikan urutannya. Hati harus siap sebelum bernyanyi (ayat 8). Jiwa harus bangkit sebelum alat musik dimainkan (ayat 9). Hati mesti bergelora menyembah-Nya bahkan sebelum musik mengalun. Hati penyembahan tidak didikte atau dibatalkan oleh musik. Prioritasnya tidak tertuju pada selera musik melainkan pada kebenaran Tuhan (ayat 11). Ia tidak meninggikan “kemuliaan musik”, tetapi kemuliaan Tuhan (ayat 12).
Setiap Minggu kita mengikuti Ekaristi di gereja. Periksalah diri kita dengan jujur, apakah kita datang sebagai seorang penonton atau penyembah? Apakah kita seperti “mesin diesel” yang harus dipanaskan terlebih dulu oleh musik supaya kita bisa menyembah-Nya? Atau, apakah kita menghampiri hadirat Tuhan dengan kerinduan dan kekaguman akan Dia? Berhentilah menjadi penonton dalam ibadah. Jadilah penyembah-Nya!
SEORANG PENONTON MERINDUKAN “HADIRAT MUSIK”.
SEORANG PENYEMBAH MERINDUKAN HADIRAT TUHAN.