Berkah Dalem Gusti

Selamat Datang di Blog ini bersama R. Slamet Widiantono,SS ------**------ TUHAN MEMBERKATI -----* KASIH ITU MEMBERIKAN DIRI BAGI SESAMA -----* JANGAN LUPA BAHAGIA -----* TERUS BERPIKIR POSITIF -----* SALAM DOA -----* slammy

Kamis, 04 Mei 2023

MEMPERSEMBAHAN HIDUP

Lukas 21:1-4

“Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, 
tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, 
bahkan seluruh nafkah yang dimilikinya.” 
(Lukas 21:4)

Kita terkadang bingung jika ditanya tentang persembahan. Sepersepuluh dari penghasilankah? Atau, berapa nominal persembahan yang menyukakan-Nya? Sebuah pelajaran penting bisa kita dapat dari kisah janda miskin yang menghaturkan persembahan.

Jika saat itu kita ada di Bait Allah, kita akan melihat pemandangan yang kontras: di antara orang-orang kaya yang memasukkan persembahan ke dalam peti persembahan, ada janda miskin yang memasukkan “hanya” dua uang tembaga—pecahan uang paling kecil (ayat 2)! 
Manakah dari kedua persembahan itu yang Tuhan apresiasi? 
Tak disangka, persembahan si janda miskin menyukakan hati-Nya. Meski jumlahnya sangat tak bernilai untuk dipuji, tetapi di mata Tuhan Yesus, persembahannya lebih bernilai dibandingkan persembahan orang-orang kaya (ayat 3). 
Tuhan melihat arti uang sejumlah itu bagi si janda miskin. Itu jumlah uang yang ia miliki untuk melanjutkan hidupnya—nafkahnya (ayat 4). 
Dalam soal memberi kepada Allah, janda miskin tak perhitungan. Ia memberikan seluruh miliknya. 
Kemiskinan bukan alasan baginya untuk tak memberi persembahan kepada Allah! Ia percaya Allah memelihara hidupnya. Ia meletakkan kepercayaannya kepada Allah, bukan pada uang yang ia miliki! 
Inilah persembahan yang menyukakan Tuhan!

Randy Alcorn, dalam Prinsip Harta, menulis: “Selama saya memiliki sesuatu, saya meyakini bahwa sayalah pemiliknya. Namun, saat saya memberikannya, saya melepaskan kendali, kekuasaan, dan harga diri yang mengiringi kekayaan ... saya menyadari bahwa Allah-lah Sang Pemilik.” 
Sudahkah kita menghaturkan persembahan dengan diiringi keyakinan bahwa Dialah pemilik harta kita? Selamat mempersembahkan yang terbaik.

PERSEMBAHKAN HIDUP ANDA KEPADA TUHAN, 
ITULAH IBADAH YANG SEJATI

SEHATI SEPIKIR

1 Korintus 1:10-17

Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, 
demi nama Tuhan kita Yesus Kristus,
 supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, 
tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir. 
(1 Korintus 1:10)

Perselisihan di dalam komunitas orang percaya? “Ah, sudah biasa,” kata seorang teman. Jemaat Tuhan kan tidak terdiri dari para malaikat, tetapi orang-orang berdosa yang sudah diampuni? Ya, benar. Namun, kalau perselisihan tidak diselesaikan, apalagi perpecahan dihasilkan, bukankah hal itu menyedihkan?

Komunitas orang percaya di Korintus juga mengalami perselisihan (ayat 11-12). Kepada mereka Paulus menasihatkan: Bersatulah! Kesatuan seperti apa yang Paulus maksudkan? Dalam bahasa aslinya kata “sehati sepikir” adalah satu di dalam nous [akal budi] dan gnome [rasio]. Jadi, Paulus tidak sedang mengatakan: “Oke, tidak apa-apa kalian berbeda pendapat, yang penting kalian rukun satu sama lain.” Sebaliknya, Paulus mendesak mereka menggunakan akal budi dan rasio untuk memahami kebenaran. Selera dan kepentingan pribadi atau kelompok semestinya ditundukkan di bawah kebenaran itu. Ini selaras dengan nasihat-nasihat Paulus dalam suratnya yang lain (lihat Roma 15:5-6; Efesus 4:1-6, 13). 

Kesatuan jemaat harus dilandaskan pada apa yang benar agar dengan satu suara jemaat dapat memuliakan Tuhan.

Apakah ada perbedaan pendapat di dalam komunitas Anda? 
Mari duduk bersama dan mencari tuntunan Tuhan.
Mohon Roh Kudus memberi kejelasan melalui Firman Tuhan, apa yang benar dan berkenan pada-Nya. Jika pendapat kita keliru, dengan rendah hati kita mengaku dan menyelaraskan diri dengan Firman Tuhan. 
Jika pendapat kita benar, tetaplah rendah hati dan dengan kasih merangkul rekan yang tadi keliru, lain waktu mungkin kitalah yang perlu diluruskan.

KETIKA JEMAAT TUHAN SEHATI SEPIKIR 
DI DALAM KEBENARAN,
FIRMAN DITERAPKAN, TUHAN DIMULIAKAN.

HARKAT SEJATI

Matius 5:27-30

Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, 
sudah berzina dengan dia di dalam hatinya 
 (Matius 5:28)

Apa yang kita ingat dari hari Kartini? Kebaya dan sanggul klasik? Atau perjuangannya mengangkat harkat perempuan, yang pada zamannya dianggap lebih rendah daripada laki-laki? 
Ya, Kartini gemas karena perempuan di zamannya dianggap sebagai makhluk lemah, kodratnya hanya untuk melayani laki-laki dan mengerjakan urusan remeh-temeh di rumah. Sebab itu, perempuan tak perlu berpendidikan tinggi. Cukup laki-laki saja.

KITAB SUCI mengajar kita bahwa laki-laki dan perempuan memiliki harkat yang sama, karena keduanya diciptakan menurut gambar Allah (Kejadian 1:27). Kita tentu berharap Israel, umat pilihan Allah, menjunjung tinggi nilai ini. Namun, peringatan keras Yesus kepada mereka yang memandang perempuan serta menginginkannya (maksudnya, memandang dengan nafsu berahi) memberi indikasi bahwa ada kecenderungan tersebut dalam masyarakat pada zaman-Nya.

Kini perempuan tak lagi direndahkan dalam pendidikan dan karier. Namun, benarkah harkat perempuan masa kini lebih dihargai dibanding zaman Kartini? Apakah sosok perempuan yang diangkat berbagai industri media dan hiburan di sekitar kita menunjukkan harkat perempuan sebagai gambar Allah yang terhormat; atau justru mendorong lebih banyak orang memandang perempuan dengan cara yang tak pantas?

Bagaimana kita menyikapinya? 

Pikirkan prinsip seorang pemimpin kristiani berikut ini: “Para laki-laki yang mengikut Yesus menjaga mata mereka demi kebaikan para perempuan dan kemuliaan Tuhan yang menciptakannya. Para perempuan yang mengikut Yesus memperlakukan tubuhnya menurut nilai-nilai Yesus, bukan nilai-nilai dunia.”


MENJUNJUNG KESAMAAN HARKAT ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
BERARTI SALING MENGHORMATI SEBAGAI SESAMA GAMBAR ALLAH

MERASA AMAN

Amsal 28:1-10

Orang fasik lari, walaupun tidak ada yang mengejarnya, 
tetapi orang benar merasa aman seperti singa muda 
(Amsal 28:1)

Pernahkah Anda berusaha tak terlihat ketika kendaraan polisi lewat, padahal ia tidak sedang mengejar Anda? Pernahkah kita berusaha membela diri dalam percakapan, padahal sebenarnya tidak ada orang yang mengkritik perkataan kita? 
Kalau pernah, kita takkan menemui kesulitan saat membaca ayat 1: “orang fasik lari, walaupun tidak ada yang mengejarnya”.

Ada sesuatu yang membuat orang fasik lari. Jelas bukan karena mereka orang-orang penakut. Pada kenyataannya, orang fasik dalam kebodohannya bisa melakukan tindakan-tindakan yang berisiko tinggi, misalnya: menerobos lampu merah, memakai obat terlarang, korupsi, dan sebagainya. 

Namun, seperti Adam yang bersembunyi ketika mendengar langkah Tuhan (Kejadian 3:8), ada nurani yang Tuhan berikan untuk memberi tahu bahwa ia “tidak aman” di hadapan Tuhan (bandingkan Roma 1:18). 

Sebaliknya, “orang benar merasa aman seperti singa muda”. Siapa mereka? 

KITAB SUCI tidak memaksudkan mereka yang mengandalkan kebenarannya sendiri, tetapi orang-orang yang dibenarkan oleh Tuhan (Mazmur 32:1-2), yang hatinya telah dibersihkan dari nurani yang jahat sehingga beroleh keberanian menghadap Tuhan, hati mereka tidak lagi menuduh mereka (1 Yohanes 3:21).

Jika kita telah dibenarkan Tuhan, kita akan hidup menundukkan diri pada Sabda-Nya. Aturan manusia yang sesuai dengan Sabda Tuhan kita penuhi bukan karena dikejar rasa bersalah. Aturan manusia yang tidak sesuai dengan Sabda Tuhan kita tentang dengan berani dan berhikmat. 

Kebenaran Tuhan itulah modal kita untuk “merasa aman” di hadapan Tuhan dan manusia.

RASA AMAN SEJATI 
DATANG DARI HIDUP YANG SUDAH DIBENARKAN
DAN DISELARASKAN 
DENGAN KEBENARAN TUHAN

MANUSIA TANPA DOSA

Yohanes 8:42-47

Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa? 
Apabila Aku mengatakan kebenaran, 
mengapa kamu tidak percaya kepada-Ku? 
(Yohanes 8:46)

Seorang guru sekolah bertanya di kelasnya, “Siapa di antara kalian yang belum pernah berbohong?” Seorang anak dengan cepat mengacungkan tangannya. Ketika semua mata memandangnya dengan kagum, perlahan ia menurunkan tangannya sambil berbisik lirih, “Maaf, saya telah berbohong.”

Ketika Tuhan Yesus menantang orang untuk menunjukkan adanya dosa yang pernah Dia perbuat (ayat 46), tak seorang pun yang bergegas bisa menyebutnya. Tantangan ini diberikan Yesus bukan di tempat yang asing atau di tempat yang baru ditinggali-Nya. Dia telah lama bersama-sama dengan orang-orang itu. Kalau selama bertahun-tahun tidak ada seorang pun yang dapat merekam satu kesalahan pun dari diri-Nya, ini sungguh membuktikan kesempurnaan hidup-Nya. Keberanian-Nya untuk mengajukan tantangan ini juga menunjukkan keyakinannya akan ketidak-berdosaan-Nya. 

Ini sekaligus klaim kuat bahwa Yesus adalah Allah, karena hanya Allah-lah yang sempurna dan tidak berdosa. Dengan demikian, setiap perkataan yang keluar dari mulut-Nya adalah kebenaran. Kekudusan hidup-Nya ditopang utuh oleh perkataan, pikiran, dan perbuatan-Nya yang tanpa cela.

Sebagai pribadi yang tidak berdosa, Tuhan Yesus tidak memerlukan penebus bagi diri-Nya dan sekaligus Dia memenuhi syarat untuk menjadi penebus. Kita bersyukur mengalami karya sempurna dari Tuhan Yesus. Biarlah kecemerlangan dan kesempurnaan Tuhan Yesus menjadi inspirasi dan pendorong bagi kita untuk hidup kudus. Mari tingkatkan rasa hormat akan kekudusan Allah dengan mengupayakan hidup yang murni dan bersih dari hari ke hari.

MARI HORMATI KEKUDUSAN TUHAN
DENGAN HIDUP SEBAGAIMANA YESUS HIDUP

BERPUASA YANG KUHENDAKI

Yesaya 58:1-12

Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, 
ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, 
dan melepaskan tali-tali kuk, 
supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya 
dan mematahkan setiap kuk ... 
(Yesaya 58:6)

Apa yang Anda pikirkan saat mendengar kata “puasa”? 
Saya langsung membayangkan tidak makan dan minum dalam kurun waktu tertentu, disertai doa-doa yang kata orang lebih “ampuh” daripada biasanya. 
Bagaimana seharusnya kita berpuasa?

KITAB SUCI mencatat apa yang Tuhan kehendaki ketika umat-Nya berpuasa. 

Menegakkan kebenaran, berbelas kasih kepada sesama (ayat 6-7). Tidak melakukan yang memberatkan sesama, apalagi mencelakakan (ayat 9). Menahan diri tidak menikmati apa yang diinginkan diri sendiri, tetapi memberikannya untuk memenuhi kebutuhan orang yang tak berdaya (ayat 10). 

Betapa Tuhan berang ketika umat-Nya menjalankan puasa hanya sebagai ritual belaka, dan menuntut Tuhan menjawab doa karena mereka merasa sudah melakukan kewajiban yang diminta (ayat 1-3). Kelihatannya saja mereka mencari dan merendahkan diri di hadapan Tuhan, tetapi sehari-harinya, mereka tidak takut melakukan apa yang jahat, seolah-olah Tuhan tidak ada (ayat 4-5).

Tuhan berjanji menyertai, bahkan memuaskan kebutuhan kita, ketika dalam puasa kita merelakan bagian kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain (ayat 11). Sikap itu dikatakan akan “membangun reruntuhan” yang sudah lama tak bisa dihuni (ayat 12). Belas kasihan dapat menembus hati yang keras hingga mereka juga dapat mengenal hidup yang berkenan kepada Tuhan. 

Betapa baiknya jika kita mengambil waktu untuk berdoa puasa dan menjalankannya seperti yang Tuhan kehendaki. Kita ditolong makin bertumbuh mengasihi dan makin mengandalkan-Nya; sesama pun dibawa makin mengenal-Nya melalui kasih kita kepada mereka.

PUASA, 
PERTAMA-TAMA MENGUBAH MANUSIA,
BUKAN MENGUBAH ALLAH.

TERSUNGKUR UNTUK BERSYUKUR

Lukas 17:11-19

Salah seorang dari mereka, 
ketika melihat bahwa ia telah sembuh, 
kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, 
lalu sujud di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. 
Orang itu orang Samaria. 
(Lukas 17:15-16)


Pengemis buta duduk di emper toko. Di sebelahnya ada papan bertuliskan, “Saya buta, kasihanilah saya”. 

Pria tua menghampirinya dan mengganti tulisan di papan, “Hari ini indah, sayangnya saya tak bisa melihatnya”. 

Tulisan di papan itu mengungkapkan hal yang sama, tetapi dengan cara berbeda. Yang pertama mengatakan bahwa pengemis itu buta; yang kedua mengatakan bahwa orang yang lalu-lalang sangat beruntung bisa melihat. 
Akhirnya, banyak orang memberi koin kepada pengemis itu setelah tulisannya diganti. Orang-orang itu bersyukur.

Bersyukur dan memuliakan Allah, itulah yang sedang diajarkan Yesus. Sepuluh orang sakit kusta memohon kesembuhan (ayat 13). Namun, Tuhan Yesus malah meminta mereka pergi memperlihatkan diri kepada imam (ayat 14). Dan, semua sembuh di tengah perjalanan. Adakah yang kembali kepada Dia? Ada! Namun, cuma satu orang Samaria yang kembali sambil memuliakan Allah dengan nyaring (ayat 15). Ia sujud; mengucap syukur di kaki Yesus, sebab ia bisa kembali menjalani kehidupan normal. Bagaimana dengan kesembilan orang lainnya? Datang kepada imam dan menunjukkan diri bahwa mereka tahir lebih penting daripada kembali dan bersyukur kepada Yesus.

Anugerah Allah yang “menyembuhkan” kita dari “penyakit” dosa dan maut semestinya mewujud dalam ucapan syukur. 

Mari melihat kembali isi doa kita. Dari sekian banyak doa permohonan, adakah ucapan syukur mengalir? 

Allah layak menerima syukur kita. Dia layak dimuliakan karena Pribadi-Nya dan karena apa yang telah Dia perbuat bagi kita. 
Selamat bersyukur!

SYUKUR 
MERUPAKAN PENGAKUAN 
BAHWA SEGALA YANG ADA
DAN TERJADI PADA KITA 
ADALAH BERKAT TUHAN